9.1 C
New York
Wednesday, April 9, 2025

Buy now

spot_img

Papua Menjadi Sorotan “1 Langkah Menuju Perubahan Indonesia”

Dalam sepekan terakhir, tagar #AllEyesOnPapua telah mengguncang lanskap media sosial Indonesia, mencatat lebih dari tiga juta share per 6 Juni 2024. Fenomena ini muncul tak lama setelah viralnya #AllEyesOnRafah, menunjukkan kemampuan platform digital untuk mengalihkan perhatian global dari satu krisis ke krisis lainnya. Awal mula gerakan ini adalah unggahan yang menyoroti perjuangan Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua—wilayah yang, menurut data Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, memiliki laju deforestasi tertinggi di provinsi tersebut.

Hendrikus Franky Woro, perwakilan Suku Awyu yang tidak memiliki akun media sosial dan baru mengganti ponselnya yang rusak sejak Desember 2023, menjadi simbol perjuangan ini. “Tanah adalah rekening abadi kami, tanah adalah mama,” ujarnya, menegaskan nilai tanah ulayat seluas 36.094 hektare—setara setengah luas Jakarta—yang kini terancam oleh rencana ekspansi PT. Indo Asiana Lestari. Pernyataan Woro ini, yang disampaikan setelah aksi di depan Mahkamah Agung akhir Mei lalu, menjadi katalis yang mengubah isu lokal menjadi sorotan internasional (x.com @machigyu).

Namun, di balik euforia digital, muncul pertanyaan kritis: Apakah tren ini akan bertahan? Pengamat media, Dr. Sari Wijaya dari Universitas Indonesia, menyatakan, “Kita telah melihat bagaimana tagar viral sebelumnya—seperti #BlackLivesMatter atau #ClimateStrike—menghasilkan perubahan kebijakan. Tantangannya adalah mempertahankan momentum.” Ia menambahkan bahwa keberhasilan #AllEyesOnPapua akan diukur bukan dari jumlah share, tapi dari aksi nyata: dukungan hukum, perubahan kebijakan perusahaan, dan undang-undang yang melindungi hak masyarakat adat.

Sementara itu, pakar lingkungan internasional, Prof. David Green dari University of Oxford, menekankan dimensi global isu ini. “Papua bukan hanya masalah Indonesia. Dengan 13% hutan tropis dunia berada di sana, nasib Papua adalah nasib iklim global,” ujarnya. Green memperingatkan bahwa setiap hektare yang hilang di Papua setara dengan pelepasan karbon yang signifikan, meningkatkan risiko bencana iklim di seluruh dunia (Tempo.co).

Aktivis HAM, Amira Damanik, melihat #AllEyesOnPapua sebagai ujian bagi demokrasi digital. “Media sosial memberi suara kepada yang terpinggirkan. Namun, jika likes tidak menjadi undang-undang dan shares tidak menjadi sanksi bagi perusak lingkungan, kita gagal,” tegasnya. Damanik mendesak pemerintah, korporasi, dan komunitas global untuk melihat viralnya tagar ini bukan sebagai tren, tapi sebagai mandat untuk aksi.

Dalam perspektif kami, #AllEyesOnPapua adalah lebih dari sekadar headline. Ini adalah studi kasus tentang bagaimana era digital mengubah advokasi, mendemokratisasi informasi, dan menantang batas-batas kedaulatan nasional terkait isu-isu kemanusiaan. Namun, kisah ini juga mengingatkan bahwa viral tidak selalu berarti vital. Kekuatan sebenarnya dari gerakan ini akan terlihat dalam bulan-bulan mendatang: apakah Papua tetap menjadi fokus setelah tagar lain muncul, dan apakah perhatian global ini berbuah menjadi perubahan nyata bagi Suku Awyu dan hutan yang mereka perjuangkan.

Mari jangan biarkan #AllEyesOnPapua menjadi tagar yang lewat begitu saja di linimasa kalian. Tulislah surat kepada wakil rakyat kalian. Karena ketika kita berbicara tentang Papua, kita tidak hanya berbicara tentang satu provinsi di Indonesia. Kita berbicara tentang garda depan dalam perang melawan perubahan iklim, tentang perlindungan keanekaragaman hayati yang tak ternilai, dan tentang penghormatan terhadap kearifan lokal yang telah menjaga keseimbangan bumi selama berabad-abad.

#JurnalismeAksi #PapuaUntukBumi #SuaraMasyarakatAdat

Oleh: Sting Binatara

 

 

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles