Feminisme dan serba-serbi gerakannya merupakan hal yang kerap kali menjadi pembahasan panas dan perdebatan di era kontemporer. Dewasa ini, gerakan feminisme seringkali merujuk pada perdebatan mengenai kesetaraan gender, peranan dan hak-hak wanita. Dalam hal ini, gerakan ekstrimis feminis yang sedang marak di negara-negara barat gencar dengan memprotes kekerasan pada perempuan dan kesetaraan gender, yang mana acap kali mereka justru terlampau radikal dengan menyimpang dari karakteristik natural atau kodrati gerakan mereka.
Hal ini terbukti dengan serangkaian catatan aksi-aksi mereka di muka publik. pada kasus feminisme, ekstrimisme kelompok ini umumnya cenderung pada penentangan terhadap dominasi pria dalam kehidupan sosial yang berdasar pada esensi biologis. Dimana gerakan mereka didorong dari ide dan advokasi yang sama yaitu untuk menuntut keadilan bagi kaum perempuan berupa kesetaraan sosial terhadap laki-laki tanpa berorientasi pada karakteristik dan kepercayaan peran biologis manusia (Mackay, 2021). Artinya, mereka beranggapan bahwa perempuan harusnya setara dengan laki-laki dalam hal apapun, termasuk dalam perannya dalam rumah tangga dan karir, peran di lingkungan masyarakat, hak dalam hubungan biologis suami-istri, hak seksual, dsb.
Pada lingkup yang lebih spesifik, kesetaraan yang di advokasi oleh kaum feminis radikal berupa; Tuntutan 70% posisi CEO perusahaan dialokasikan untuk perempuan, Perempuan mendapat hak asuh penuh atas anak, Penghapusan olahraga “maskulin” seperti tinju, Upah lebih terhadap pekerja perempuan, Maoyritas kursi bagi perempuan di lembaga peradilan, hak menolak hubungan seksual suami-istri, dll. Pada kasus lain, aksi nyata dapat dilihat pada gerakan FEMEN, yaitu kelompok feminis ekshibisionis yang dalam beberapa kasus melakukan protes publik dengan kampanye bertelanjang dada. Mereka beralasan bahwa aksi mereka adalah bentuk protes terhadap standar ganda berpakaian dan ketelanjangan antara pria dan wanita (Wilson, 2012). Mereka menentang kontrol sosial terhadap tubuh wanita, seperti norma-norma agama dan sosial yang kerap kali mengekang cara berpakaian wanita. Hal ini membuktikan, bahwa FEMEN dan gerakan ekstrimis feminisme lainnya merupakan sesuatu yang radikal dan melawan kodrat itu sendiri. mereka menuntut perubahan besar-besaran dengan meninggalkan esensi biologis dan kodrat manusia, bahkan rela memajang tubuh mereka di muka publik.
Lalu, mengapa semua ini radikal? dan bagaimana islam memandang fenomena ini? untuk memperjalas, feminisme pada dasarnya adalah gerakan yang muncul untuk memprotes penindasan dan memperjuangkan keadilan bagi kaum wanita. Artinya, gerakan feminisme awal terbatas pada advokasi mengenai keadilan bagi wanita secara sosial yang berdasar pada nilai Hak Asasi Manusia dan tanpa meninggalkan esensiliasme biologis (Junaidi et al., 2010, hlm. 245-246). Oleh karena itu, pada kasus ekstrimisme feminis sebelumnya, gerakan tersebut dinilai radikal karena melenceng dari nilai luhur lahirnya perjuangan feminisme itu sendiri.
Menalar radikalisme feminis dari kacamata islam, hal ini sebetulnya merujuk pada pemahaman “keadilan” dan “kesetaraan” dalam kesetaraan gender. Islam sejatinya sudah mengatur secara “berkeadilan” mengenai peranan laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun kehidupan sosial, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah antara keduanya. Islam mengajarkan bahwa tuhan sejatinya menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan tolong menolong, tidak ada yang lebih mulia perannya, karena keduanya laki-laki ataupun perempuan memiliki peran mulia nya masing-masing (Junaidi et al., 2010, hlm. 249). Seperti yang termaktub dalam Q.S Al-Taubah ayat 71 “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya….”.
Hal ini sebenarnya sudah salah sejak awal penafsiran. Mereka, kaum feminis radikal yang hidup di era modern ini, sudah salah kaprah dalam memahami ide “keadilan” bagi perempuan dalam gerakan feminisme. Mereka beranggapan bahwa “keadilan” adalah “kesetaraan” antara laki-laki dan perempuan berupa kesamaan dalam peranan dan hak di kehidupan sosial. Pemahaman mengenai kesetaraan inilah yang kemudian membawa mereka untuk membuang esensi biologis dan kodrati manusia. Dalam hal ini, tanpa mempelajari islam pun mereka seharusnya paham bahwa “setara” belum tentu “adil”. Nilai luhur feminisme mengenai keadilan bagi perempuan seharusnya mereka pahami sebagai “perlakuan” yang sama tanpa penindasan, dan bukan “kesetaraan” dalam peranan. Seperti hal nya dalam pendidikan, perempuan dan laki-laki “adil” dalam pendidikan tanpa adanya diskriminasi dan pembedaan perlakuan. Dan mereka juga “adil” dalam rumah tangga dimana laki-laki menjalankan perannya sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengasuh anak.
Dalam hal ini, islam dan ajarannya adalah implementasi paling sempurna dari analogi “Setara belum tentu Adil”, islam mengajarkan bahwa apa yang dikehendaki tuhan adalah yang terbaik bagi manusia sesuai pada kodrat nya. Pandangan pribadi penulis sendiri, meyakini bahwa islam adalah jawaban yang sempurna atas keresahan mengenai kesetaraan gender. Bagi seorang muslim, seharusnya tidak perlu lagi berdebat mengenai formula hierarki kehidupan manusia dalam masalah kesetaraan gender, karena islam adalah formula itu sendiri.
Oleh: Yusuf Adytiya.