Kebebasan pers di Indonesia menghadapi tantangan serius menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam era Presiden Jokowi masih banyak kasus kekerasan yang mencemari kebebasan pers di Indonesia.  Meskipun peringkat Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional yang diterbitkan oleh Reporters Without Borders (RSF) mengalami peningkatan dari posisi 132 pada tahun 2014 menjadi 111 dari 180 negara pada tahun ini mengutip kompas.com. Akan tetapi ketika melihat fenomena politik yang terjadi dari konstelasi pemilu tahun 2024 yang banyak dikecam masyarakat karna adanya isu penyelewengan kekuasaan hingga dugaan kecurangan yang berimplikasi pada kemunduran demokrasi. Apakah indeks tersebut selaras dengan realitas politik yang terjadi?
Pasalnya dalam sebuah pernyataan menjelang pemilu 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak Presiden Jokowi agar berhenti merusak demokrasi dan menjamin perlindungan terhadap kebebasan pers atau kebebasan berpendapat dalam ranah publik. Hal ini tentunya tidak serta merta tanpa alasan yang jelas, karena pada kenyataannya organisasi jurnalis tersebut menilai selama pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi, Indonesia telah mengalami kemunduran demokrasi yang luar biasa dan terlalu abai terhadap penghormatan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) demi menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pernyataan tersebut disampaikan AJI Indonesia bersama 40 AJI Kota pada tanggal 12 februari 2024. AJI mengatakan dibawah rezim Jokowi, kebebasan pers mencapai situasi yang kritis menurut narasi yang tertulis di website Aji.or.id. Perkataan tersebut sejalan dengan ambisi Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya dengan cara yang kotor yaitu dengan melemahkan Mahkamah Konstitusi demi Gibran Rakabuming Raka anak sulungnya bisa mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto meskipun belum memenuhi syarat usia yang ditetapkan. Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu berusia 36 tahun, menyalahi aturan Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan calon wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun. Keputusan kontroversial MK untuk mengubah aturan ini demi mengakomodasi pencalonan Gibran dipandang sebagai bentuk pelemahan institusi hukum tertinggi negara dan bukti nyata dari upaya Jokowi melanggengkan kekuasaan melalui politik dinasti. Hal tersebut juga banyak dinilai oleh publik bahwa Jokowi telah mengabaikan nilai-nilai pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.
Ambisi Mulyono dalam mempertahankan kekuasaan di akhir masa jabatannya tidak berhenti saat pemilu saja, berikutnya pada saat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 publik kembali dihadapkan pada situasi yang memicu kemarahan dan kemuakan. Nama mulyono yang kini ramai dibacarakan oleh masyarakat sebagai nama kecil jokowi dinilai kembali melanggengkan kekuasaannya melalui politik dinasti, mengabaikan aturan Mahkamah Agung terkait batas umur minimal 30 tahun saat pendaftaran calon kepala daerah, bukan saat pelantikan. Hingga anak bungsunya Kaesang Pangarep yang belum genap berusia 30 tahun bisa maju. Hal ini memicu gelombang protes di berbagai platform media sosial, dengan munculnya “peringatan darurat demokrasi” yang viral di kalangan netizen.
Situasi semakin memanas dengan terjadinya aksi unjuk rasa besar-besaran yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa hingga buruh. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah respons aparat keamanan terhadap demonstrasi ini. Dilaporkan terjadi tindakan represif berupa penggunaan gas air mata secara berlebihan, penculikan beberapa mahasiswa, dan bahkan intimidasi terhadap jurnalis yang meliput aksi tersebut.
Insiden dua jurnalis dari Tempo mendapati tindakan pukulan  oleh aparat kepolisian saat meliput aksi demo di Senayan pada kamis, 22 Agustus 2024 yang diberitakan di metro.tempo.co menjadi bukti nyata ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Tindakan ini bukan hanya melanggar hak jurnalis untuk meliput peristiwa publik, tetapi juga menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Situasi ini semakin menegaskan kekhawatiran AJI tentang kondisi kritis kebebasan pers di bawah pemerintahan Jokowi. Rentetan peristiwa ini menunjukkan adanya pola sistematis yang mengancam kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Meskipun ada peningkatan peringkat Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional, realitas di lapangan justru menggambarkan situasi yang berbeda. Tindakan represif terhadap demonstran dan intimidasi terhadap jurnalis mencerminkan adanya upaya pembungkaman suara kritis dan pembatasan akses informasi publik.
Fenomena ini semakin mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjaga kebebasan pers dan nilai-nilai demokrasi. Di penghujung masa jabatannya, Jokowi seharusnya meninggalkan warisan demokrasi yang kuat, bukan justru menciptakan kondisi yang mengancam pondasi demokrasi itu sendiri. Kebebasan pers yang semakin rentan di akhir pemerintahan Jokowi menjadi catatan kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia, hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Penulis: Sting Bina Tara