
Kerusakan alam akibat ekspansi tambang di pulau Lebeki, Sulawesi Tenggara. Sumber:BBC News Indonesia
Berbagai kerusakan alam terus menjadi momok menakutkan di tengah-tengah wacana hilirisasi nikel yang dijanjikan sebagai sarana peningkatan perekonomian rakyat. Hingga saat ini ekspansi tambang nikel terus berlangsung ugal-ugalan. Padahal transisi energi harusnya tak boleh dibayar dengan kerusakan laut dan lenyapnya pulau-pulau kecil. Jika nikel di claim sebagai penopang masa depan namun justru mengapa rakyat kecil yang menjadi korban. Beberapa waktu yang lalu beredar tagar #SaveRajaAmpat yang di inisiasi oleh Grean Peace Greenpeace yang merupakan organisasi global dan bergerak pada perlindungan lingungan dan sumber daya alam. Tagar tersebut merupakan bentuk solidaritas berbagai elemen masyarakat yang menuntut dihentikanya tambang nikel yang beroperasi di raja Ampat. Tak hanya di Raja Ampat, penolakan dan desakan tersebut juga di tujukan terhadap tambang tambang yang masih beroperasi di sejumlah wilayah seperti di pulau-pulau kecil salah satunya di Teluk Weda Halmahera Tengah, Maluku Utara. Bentuk penolakan tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, kerusakan alam yang parah sudah cukup untuk menjadi alasan mengapa perusahaan tambang harus segera menghentikan aktivitas pertambangan mereka.
Kerusakan alam yang terjadi akibat proyek tambang bukanlah hal yang sederhana, di Teluk Weda kerusakan alam tampak dari air sungai yang tak lagi mampu memberikan mereka penghidupan. Sungai di Teluk Weda kini tak mampu lagi menjadi penopang hidup masyarakat setempat karena mengandung racun dan tercemar limbah pertambangan nikel. Memanfaatkan hasil laut sebagai mata pencaharian adalah hal utama bagi masyarakat setempat, namun ketika sungai telah tercemar masyarakat tentu kehilangan sumber mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Kerusakan ekosistem hutan dan laut membuat kesejahteraan masyarakat kian merosot. Sedimentasi akibat destruktif tambang nikel kemudian mencemari air laut yang membuat laut tak lagi bersih, populasi ikan berkurang secara signifikan dan ekosistem laut semakin memburuk. Bersamaan dengan itu ekonomi masyarakat pesisir semakin berada dalam kondisi ketidakpastian.
Kerusakan alam yang terjadi akibat limbah tambang tidak hanya menggerus perekonomian masyarakat namun mengancam nyawa mereka karena ikan yang dikonsumsi oleh masyarakat ternyata mengandung racun dan zat berbahaya. Berdasarkan data yang dikutip dari Nexus 3 Foundation, 40% warga yang tinggal di sekitar IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park) terpapar merkuri dalam darah yang melebihi ambang batas. Hal tersebut merupakan sebuah ironi dimana hilirisasi nikel yang di gadang-gadang oleh pemerintah untuk kesejateraan rakyat justru menimbulkan berbagai ancaman.
Demam hilirisasi nikel tidak hanya terjadi di Raja Ampat dan Teluk Weda, namun turut terjadi di berbagai pulau seperti di Sulawesi Tenggara tepatnya di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana. Keberadaan tambang nikel yang ada menyebabkan penggundulan hutan secara besar-besaran, pencemaran laut, dan secara signifikan mengancam keselamatan warga dan masyarakat adat setempat. Ancaman keselamatan warga terlihat dari berbagai kasus dan krisis kesehatan yang di alami masyarakat seperti munculnya penyakit kulit, gangguan ginjal hingga kanker akibat mengonsumsi ikan yang tercemar zat arsenik dan logam berat imbas dari limbah nikel yang dibuang di sepanjang aliran sungai. Berbagai kerusakan-kerusakan alam yang terjadi di pulau-pulau kecil tersebut akan mengancam eksitensi pulau kecil yang menjadi surga bagi Indonesia.
Begitu kejamnya transisi energi hilirisasi nikel dalam membunuh rakyat secara perlahan. Dibalik bencana ini, terdapat peran besar pemerintah yang hanya bungkam ketika rakyat menjerit dalam penderitaan. Penguasa seolah abai terhadap keberlangsungan sumber daya alam dan tidak menempatkan rakyat pada prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dalam kacamata dan perspektif relasi kuasa dimana terdapat gesekan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang tidak memiliki kekuasaan. Antonio Gramsci mengatakan pihak yang memiliki dominasi dapat menggunakan kekuasanya untuk menekan pihak lain. Gramsci memandang hegemoni sebagai suatu bentuk dominasi yang tidak hanya melalui kekerasan fisik, tetapi juga melalui kepemimpinan ideologis dan moral yang persuasif. Hegemoni dalam pandangan Gramsci adalah proses di mana kelas yang dominan mampu mengendalikan kelas lain. Dalam hal ini rakyat kecil berada pada posisi yang tak berdaya sedangkan penguasa hanya diam dikala para elit kapitalis melakkukan eksploitasi alam secara masif. Kerusakan alam akibat ekspansi pertambangan nikel yang terus berlangsung seolah membuat rakyat kecil harus berkorban untuk kebutuhan energi dunia. Keuntungan demi keuntungan selalu menjadi asas pemegang kekuasaan untuk menjalin kerja sama dengan investor dan elit kapitalis.
Penulis: Oktami Nur Fadila