
Ketika terjadi tabrakan antar sepeda motor, sesaat setelah insiden itu, kedua pengemudi saling berhadapan. Apa yang sebenarnya terjadi saat itu? Sebuah rebutan realitas pun dimulai. Pengemudi A berkata, “Lampu seinmu nyalakan kalau mau belok”. Pengemudi B membalas, “Sudah saya nyalakan, kamu saja yang tidak melihat. Kamu pakai kacamata hitam”.
Siapa yang bersalah? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana awal mulanya? Semua itu tidak akan pernah jelas jika hanya kedua pihak yang terlibat yang berbicara. Dalam situasi seperti ini, peran saksi dan hukum yang adil menjadi satu-satunya alat untuk mendekati kebenaran yang sejati. Tanpa saksi dan hukum yang adil, konflik semacam ini hanya akan berujung pada pertarungan kekuatan—siapa yang menang dan siapa yang kalah ditentukan oleh siapa yang lebih kuat, bukan oleh siapa yang benar.
Indonesia, sebagai negara hukum, demokrasi, dan yang digadang-gadang menjunjung keadilan, justru sering menampilkan tabrakan-tabrakan realitas serupa. Pihak pro dan kontra saling menunjukkan versinya masing-masing tentang kebenaran, dan percaya bahwa realitas yang mereka bawa adalah satu-satunya yang sahih. Demi label “tidak bersalah”, seseorang rela dicap tak tahu malu. Ironisnya, fenomena ini dianggap wajar dalam negara demokrasi, karena setiap orang memiliki hak menyatakan pendapat—baik itu pro maupun kontra. Namun, Indonesia belum cukup dewasa untuk mengelola dinamika siklus pro dan kontra ini. Tidak ada yang mau menjadi saksi dalam arti sebenarnya—melihat keseluruhan fenomena secara objektif, mempertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak memihak salah satu kubu. Sebaliknya, semua orang justru memilih untuk berada dalam blok tertentu, antara pro atau kontra, demi kepentingan pribadi.
Dalam situasi seperti inilah mahasiswa memiliki potensi sebagai agent of change dan mampu mengambil peran sebagai saksi-saksi sosial. Mahasiswa adalah individu yang dikaruniai akal yang tajam dan hati yang seimbang untuk merespons realitas. Mereka dapat membaca realitas secara ilmiah melalui pendekatan fenomenologis—membaca kasus secara menyeluruh, memahami konteks, dan menganalisis akar persoalan. Dengan cara ini, mahasiswa dapat lebih mendekati realitas yang sejati, karena tidak membawa kepentingan selain penyelesaian masalah yang menjunjung keadilan dan kesetaraan.
Lalu bagaimana dengan hukum—alat kedua setelah saksi dalam menyelesaikan konflik realitas? Hukum seharusnya menjadi sesuatu yang pasti dan mutlak, tidak bisa diubah oleh kepentingan pribadi maupun kelompok. Hukum yang membuat kita sebagai warga negara merasa aman. Namun, dalam perkembangan zaman yang semakin kompleks, hukum seolah kehilangan taringnya. Kita menyaksikan bagaimana hukum perlahan mulai tunduk di bawah bayang-bayang kekuasaan.
Beberapa kasus seperti polemik RUU TNI, program Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga konflik terbaru di Raja Ampat memperlihatkan betapa negara kita sedang berada dalam “perang realitas”. Masing-masing pihak saling mengklaim kebenaran: “Yang benar ini”, “yang sesuai lapangan ini”, “yang betul itu”. Negara seolah-olah terjebak dalam arena adu klaim kebenaran. Yang diperjuangkan bukan lagi apa yang benar, melainkan siapa yang benar. Dalam ruang yang seperti ini, keputusan-keputusan penting tak lepas dari kepentingan.
Mahasiswa, sekali lagi, adalah angin segar yang digadang-gadang mampu merespons kondisi ini. Mahasiswa adalah anugerah yang suci—dalam arti hadir bukan sebagai alat kekuasaan atau opini publik yang bising, tetapi sebagai penyeimbang. Mahasiswa hadir sebagai subjek yang mencoba mendekati kebenaran sejati. Dalam setiap konflik yang terjadi, mahasiswa dipercaya mampu bersikap bijak sebagai problem solver. Mereka dapat turun ke lapangan, memperhitungkan kausalitasnya, serta memetakan dan mengelola berbagai pernyataan pro dan kontra yang berseliweran di ruang media. Dari proses panjang itulah, diharapkan akan lahir sebuah solusi yang lahir dari upaya ilmiah dan kontemplatif untuk menemukan realitas yang sebenarnya.
Suara mahasiswa tidak boleh dibungkam. Suara mahasiswa bukanlah ancaman bagi negara, melainkan pengingat bahwa negara sedang tidak berada di jalur yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa. Diskusi-diskusi yang tumbuh di ruang-ruang mahasiswa bukan bentuk perlawanan terhadap pemerintah, melainkan fondasi lahirnya solusi yang mampu menyelesaikan rebutan realitas dengan cara yang lebih bijak. Di sanalah tempat kebenaran diuji melalui dialog, bukan dominasi; melalui nalar, bukan kuasa. Maka sudah semestinya suara mahasiswa dirawat sebagai bagian dari mekanisme kontrol sosial, demi menjaga demokrasi tetap hidup dan waras.
Penulis: Jembar Tahta Anillah