Genjatan Senjata Iran–Israel: Damai untuk Siapa?

Ilustrasi konflik antara Israel-Iran yang bermula pada 12 Juni 2025 Sumber:Thisisbeirut.com

Genjatan senjata antara Iran dan Israel yang disepakati pada 23 Juni 2025 seolah menjadi penutup dari perang 12 hari yang mengejutkan dunia. Kesepakatan ini melibatkan Amerika Serikat sebagai mediator disertai dengan serangan terarah terhadap fasilitas nuklir Iran yang merupakan bagian dari konsesi Israel untuk menghentikan gempuran nuklir mereka ke Iran. Perang antara israel dan iran bermula pada 12 Juni 2025 sekitar pukul 20.00, ketika Israel meluncurkan serangan nuklir besar-besaran ke wilayah Iran. Kemudian iran mengirimkan balasannya dengan cepat dan secara massif. Iran menembakkan ratusan rudal balistik dan drone, menciptakan konflik besar yang kini menimbulkan pertanyaan penting—apakah genjatan senjata ini benar-benar membawa damai?

Jika ditarik kembali, konflik ini menandai eskalasi langsung dimana Israel menyerang pusat nuklir dan militer, membunuh puluhan ilmuwan dan komandan IRGC, sementara Iran membalas dengan peluncuran lebih dari 550 rudal balistik dan sekitar 1.000 drone ke wilayah Israel. Kemudian Amerika Serikat turut campur tangan pada 21–22 Juni lewat serangan “bunker-buster” ke fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan. Dengan intervensi dari amerika menandakan perang tidak hanya bilateral, tetapi memiliki dukungan global.

Namun apabila dilihat dari sisi kemanusiaan, korban yang jatuh sangat tinggi. Dalam laporan-laporan iran tercatat antara 900 hingga 1.190 tewas dan 4.475–5.800 luka-luka. Sementara di Israel, tercatat setidaknya 28 tewas (termasuk satu tentara off-duty) dan 3.000-an orang luka, dengan lebih dari 9.000 warga mengungsi. Sering kali narasi resmi berfokus pada kepentingan nuklir dan pertandingan kekuasaan, tetapi satu hal yang selalu luput: kemanusiaan. Ribuan warga sipil dari kedua negara kehilangan keluarga, tempat tinggal, akses layanan esensial, sekaligus harus menanggung trauma mendalam. Ironisnya, ketika isu nuklir menjadi alasan utama intervensi, suara-suara kemanusiaan justru tersisih. Ruang berita dipenuhi perdebatan soal “hak menahan diri” dan “ancaman”, tetapi terlalu sedikit yang mengangkat kisah anak-anak yang kehilangan tempat bermain atau orang tua yang kehilangan kesempatan menafkahi keluarga.

Konflik ini juga meletupkan potensi perang proksi baru. Iran memiliki jaringan sekutu di Timur Tengah (Hezbollah, Houthis, dan lainnya), sedangkan Israel didukung kuat oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Jika konflik kembali memanas, sangat mungkin negara-negara tersebut ikut masuk arena, memperluas ketegangan dari kawasan lokal menjadi ancaman global. Mengingat dunia tengah pulih dari pandemi dan masih diliputi ketidakstabilan geopolitik, momentum saat ini bisa menjadi titik balik yang sangat berbahaya jika tidak direspons secara adil dan manusiawi.

Genjatan senjata pada 23 Juni 2025 memberi jeda, bukan solusi. Damai yang dibangun tanpa menyentuh akar ketidakadilan hanya akan menjadi fatamorgana. Selama komunitas internasional tetap melihat Timur Tengah melalui kacamata kepentingan semata, bukan kemanusiaan, damai tersebut hanyalah hening yang menunggu ledakan berikutnya.

Penulis: Sa’diyaturohimah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *