Tidak Adakah Berita Baik Di Hari Ini? Refleksi Atas Derasnya Berita Buruk dan Diamnya Kekuasaan

Ilustrasi Media Berita (Illustration by Canva).

Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Pagi datang bersama matahari yang terbit disertai ayam yang berkokok.  Siang diwarnai anak-anak berlari, mengejar layangan di langit. Malamnya, bintang-bintang kecil bermunculan, menyinari langit gelap—ditemani suara jangkrik dari balik perkebunan. Namun, di balik kesamaan yang kita temui setiap hari, berita buruk selalu datang tanpa diminta.  Ia merayap ke lini masa media sosial, memenuhi sudut-sudutnya dengan respon yang tak kalah bising. Setiap hari, rakyat disuguhi kabar suram tentang negeri sendiri—dan para penguasa, entah sadar atau tidak, selalu menjadi lakon utamanya.

Hari ini tersiar kabar buruk dari ruang pengadilan. Putusan kontroversial menjerat mantan Menteri Perdagangan atas tuduhan korupsi—meski bukti dan kesaksian justru menunjukkan ketidakterlibatannya dengan dalih mengedepankan logika ekonomi kapitalis. Sebuah keputusan yang jelas sarat kepentingan dan jauh dari keadilan. Ketukan palu dari tangan seorang hakim kini cukup untuk menghukum mereka yang bahkan tidak terbukti bersalah. Palu hukum yang agung telah berubah menjadi budak kekuasaan. Ia tertatih dalam tugasnya, seolah menunggu saat untuk benar-benar ditelan penguasa. Jika yang dijuluki “kepanjangan Tuhan” saja tak mampu menegakkan keadilan, siapa lagi yang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah?

Berita buruk itu muncul secepat kedipan mata. Usai publik menyaksikan ironi dari ruang sidang, kini kabar serupa datang dari ruang kelas. Dugaan korupsi pengadaan laptop tahun 2020-2022 mencuat di lingkungan Kementerian Pendidikan. Dana yang seharusnya menghidupi tenaga pendidik justru digerogoti demi kepentingan pribadi. Betapa ironis, institusi yang seharusnya menjaga mutu pendidikan justru lapuk dari dalam—digerogoti oleh tikus-tikus dalam topeng birokrat. Jika terus begini, impian tentang generasi emas tak lebih dari tempelan slogan kosong di dinding yang penuh retakan. Maka, berbicara soal generasi emas terasa jenaka, ketika pendidikan justru dirampas sebelum sempat berkembang.

Ironi tentang negeri ini tak berhenti di situ. Ia muncul satu demi satu. Ada berita tentang pesta pernikahan megah anak kepala daerah yang menelan korban; tentang pemimpin yang berucap seenaknya tanpa rasa; tentang mantan pemimpin yang belum move on dari kekuasaan; dan tentang 135 jiwa yang masih menunggu keadilan di negeri sendiri.

Bagi rakyat, berita buruk bukan hanya sekedar angin lalu, melainkan alarm bahaya yang suatu saat akan menimpa entah hari ini ataupun hari yang akan datang. Kita hanya menunggu giliran, karena kitalah yang paling merasakan dampak dari ketidakpedulian mereka yang berkuasa.  Bagi para penguasa, berita buruk mungkin hanyalah angin lalu. Ketika satu muncul, cukup ditutupi dengan berita buruk lainnya. Ini sudah menjadi rahasia umum—karena bagi mereka, nyawa pun hanya sebatas angka. Mungkin justru berita baik bagi mereka adalah berita buruk bagi kita. 

Bisa jadi, tepat di saat kita membaca tulisan ini, satu lagi berita buruk sedang lahir di negeri ini—sementara kita masih sibuk bertanya: adakah berita baik hari ini? Sementara mereka berpesta di atas panggung kekuasaan, mulut mereka menyebut negeri ini ‘bangsa besar’—seakan lupa bahwa yang mereka rayakan adalah ketaatan pada asing, bukan kemerdekaan. Barangkali, sejak awal kita memang lahir di negeri yang enggan berlaku adil kepada rakyatnya. Namun cinta kita terhadap negeri ini akan tetap sama. Agaknya, hanya itu satu-satunya berita baik hari ini.

Penulis: Al Bukhori G.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *