
Di usia sekolah menengah, hubungan sosial kita ini ibarat jaringan benang kusut ada yang tebal dan kuat, ada pula yang tipis dan mudah putus. Kita punya teman yang setiap hari kita lihat, tapi tak pernah benar-benar kita ajak bicara dari hati ke hati. Kita juga mengenal orang yang hanya berinteraksi lewat satu dua percakapan singkat, tapi entah kenapa namanya tetap tertanam di kepala. Pertanyaannya: seberapa dalam kita benar-benar mengenal orang lain? Apakah semua yang kita ingat adalah kenyataan, atau sekadar potongan memori yang kita pilih untuk percaya?
Pertanyaan semacam ini menjadi inti dari Not Friends (เพื่อน(ไม่)สนิท), film Thailand rilisan 2023 garapan sutradara debutan Atta Hemwadee. Sekilas, film ini tampak seperti drama remaja ringan yang dipadukan dengan bumbu humor, cinta monyet, dan dinamika klub sekolah. Namun, di balik itu terselip kritik sosial halus tentang bagaimana manusia membentuk narasi tentang orang lain, bahkan setelah orang itu tiada.
Cerita berpusat pada Pae, seorang siswa pindahan yang dikenal sinis dan menjaga jarak dari lingkungan barunya. Joe, salah satu teman sekelasnya, pernah mengajaknya untuk berkolaborasi membuat video. Pae menolak tanpa banyak pikir. Namun tak lama setelah itu, Joe meninggal dalam kecelakaan tragis. Kejadian ini memicu ide di kepala Pae: membuat film pendek tentang Joe untuk memperkuat portofolio pendaftaran kuliahnya.
Proyek tersebut membuat Pae terhubung dengan klub audiovisual dan Bokeh, sahabat dekat Joe. Dari sinilah dinamika cerita berkembang. Awalnya, semua berjalan seperti kerja kelompok biasa seperti rebutan ide, diskusi teknis, dan perdebatan kecil. Tapi semakin dalam mereka mengulik kehidupan Joe, semakin banyak rahasia yang terkuak. Narasi yang awalnya dibangun Pae demi keuntungan pribadi berubah menjadi proses emosional yang menguji pemahamannya tentang arti persahabatan.
Salah satu kekuatan Not Friends adalah keberaniannya bermain di wilayah film dalam film. Kita tidak hanya melihat cerita Pae dan Bokeh di dunia nyata, tetapi juga potongan-potongan hasil rekaman mereka yang membentuk “film” tentang Joe. Pendekatan meta-naratif ini membuat penonton merasa ikut menyelidiki, sekaligus mempertanyakan mana yang “fakta” dan mana yang sudah terdistorsi oleh sudut pandang pribadi.
Humor khas remaja hadir dengan natural, tidak dipaksakan. Interaksi Pae dan Bokeh terasa hidup, mencerminkan realitas anak SMA yang sering menutupi kerentanan dengan candaan. Meski begitu, Not Friends tidak terjebak menjadi sekadar komedi remaja. Film ini menaruh perhatian pada detail emosional tatapan yang teralihkan saat membicarakan hal sensitif, jeda canggung ketika kenangan muncul, hingga rasa bersalah yang tidak selalu diucapkan. Namun, di film ini bukannya tanpa kelemahan. Beberapa subplot terasa dibiarkan menggantung, terutama pada latar belakang beberapa anggota klub audiovisual yang sebenarnya punya potensi memperkaya cerita. Akhir film pun cenderung aman memberi penutup yang manis, namun kurang memberikan pukulan emosional yang berani untuk meninggalkan kesan mendalam.
Film Not Friends ini relevan dengan fenomena media sosial masa kini. Kita hidup di era ketika tragedi mudah dijadikan konten, ketika narasi tentang seseorang bisa dimanipulasi untuk membangun citra tertentu. Film ini mengingatkan bahwa mengenang seseorang bukan hanya soal menyusun momen indah, tapi juga menghadapi kenyataan yang kadang tidak sesuai ekspektasi. Not Friends pada akhirnya adalah refleksi tentang jarak dalam persahabatan, tentang bagaimana kita membangun cerita di kepala kita sendiri, dan tentang bagaimana kehilangan bisa menjadi cermin bagi motivasi kita. Ini adalah film yang hangat, lucu, namun juga getir mengajak kita bertanya, siapa sebenarnya yang kita kenang, dan mengapa. Not Friends adalah drama remaja yang hangat, lucu, dan sedikit menyentuh, cukup bikin kita mikir tentang arti persahabatan, dan buatku pribadi film ini pantas mendapat rating 8/10.
Penulis: Novi Putri Anggraini