
Sumber: Minews.id
Politik identitas kini menjelma menjadi senjata paling tajam dalam pertarungan politik di Indonesia. Apa yang dulunya digunakan untuk memperjuangkan keadilan bagi kelompok minoritas, disulap menjadi alat meraih kekuasaan, memecah belah masyarakat, dan menodai demokrasi.
Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, politik identitas adalah kecenderungan politik di mana kelompok-kelompok tertentu menegaskan identitas mereka, sering kali dalam rangka menuntut pengakuan, perlindungan, dan keadilan atas dasar perbedaan yang melekat. Dalam konteks Indonesia, politik identitas telah menjelma menjadi strategi yang digunakan untuk membangun kesadaran kolektif, memperjuangkan hak, dan yang paling krusial meraih dukungan politik.
Awalnya, politik identitas memiliki nilai emansipatoris. Ia digunakan untuk menyuarakan kepentingan kelompok yang terpinggirkan. Namun seiring berjalannya waktu, hal ini kerap disalahgunakan. Identitas yang seharusnya menjadi sumber kekuatan bersama, kini justru menjadi alat untuk meraih elektabilitas semata. Lebih mirisnya, praktik ini dipertontonkan secara terbuka, sehingga tanpa disadari telah mendarah daging dalam budaya politik masyarakat.
Indonesia adalah negara yang majemuk beragam suku, ras, budaya, dan agama hidup berdampingan. Tapi keberagaman ini justru dijadikan bahan bakar politik eksklusif. Politik identitas berkembang subur di berbagai arena pemilu dan pilkada, bukan sebagai bentuk perjuangan, melainkan sebagai taktik eksploitasi.
Salah satu kasus yang mencolok adalah Pilkada DKI Jakarta 2017. Ajang pemilihan tersebut penuh dengan tensi identitas yang begitu tajam. Isu agama dan etnis menjadi senjata kampanye yang membelah masyarakat secara drastis. Polarisasi yang terjadi menunjukkan bahwa politik identitas mampu menciptakan jurang yang dalam, bukan mempererat ikatan kebangsaan. Kasus ini adalah bukti bahwa politik identitas bukan hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga meletakkan sendi-sendi sosial masyarakat.
Demokrasi seharusnya menjadi ruang inklusif, bagi seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang, mereka memiliki hak dan peluang yang setara. Namun, di negeri ini, politik identitas justru mempersempit ruang demokrasi. Identitas dijadikan ukuran utama dalam menentukan pilihan politik, mengalahkan visi, rekam jejak, dan kompetensi calon pemimpin. Akibatnya, kualitas demokrasi kita terus menurun, digantikan oleh politik sektarian yang dangkal. Jika dibiarkan, politik identitas akan memperparah perpecahan sosial dan memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi politik. Loyalitas politik akan bergeser dari rasionalitas menuju fanatisme identitas. Masyarakat tak lagi menimbang kualitas, melainkan seberapa dekat calon pemimpin dengan identitas yang mereka anut. Inilah bentuk demokrasi semu yang perlahan menggerogoti fondasi bangsa.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan?
Sebagai kaum muda generasi penerus bangsa kita memegang peran sentral dalam melawan hegemoni politik identitas. Pertama, kita harus menjadi agen perubahan dengan membangun kesadaran kritis di tengah masyarakat. Politik harus kembali menjadi ruang adu gagasan dan solusi nyata, bukan panggung pertarungan identitas sempit. Melalui media sosial, diskusi publik, dan komunitas, kita bisa menyebarkan pemahaman tentang bahaya politik identitas dan pentingnya politik berbasis visi.
Kedua, kita perlu mendukung pemimpin yang inklusif. Jangan terjebak pada politik pencitraan yang menonjolkan latar belakang etnis, agama, atau organisasi. Dukunglah kandidat yang membawa gagasan kemajuan untuk semua, bukan hanya untuk segelintir kelompok.
Ketiga, kita harus menciptakan ruang dialog yang konstruktif. Perbedaan adalah bagian dari kodrat bangsa ini. Tapi perbedaan tak harus berarti perpecahan. Dengan berdialog, kita bisa membangun rasa saling pengertian dan menjadikan identitas sebagai kekuatan kolektif, bukan alat pemecah.
Melawan politik identitas bukan berarti mengingkari identitas kita, melainkan menolak eksploitasi identitas untuk kepentingan kekuasaan. Kita perlu membangun budaya politik baru yang berakar pada nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Itulah cara kita menyelamatkan demokrasi.
Melawan politik identitas bukan tindakan yang membunuh politik justru sebaliknya. Ini adalah langkah untuk menghidupkan politik yang sehat dan inklusif. Sebagai generasi muda, tanggung jawab ada di tangan kita. Mari bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih adil, plural, dan penuh harapan untuk semua.
Penulis: Wahda Dhiyaul Akrimah