
Rapuhnya komitmen dunia terhadap perdamaian. Ketika diplomasi hanya menjadi formalitas, dan kekuatan militer dijadikan alat utama untuk menunjukkan dominasi, maka yang dikorbankan adalah nyawa manusia, stabilitas regional, dan masa depan generasi berikutnya. Konflik ini bukan sekadar pertikaian dua negara, melainkan cermin kegagalan komunitas internasional dalam mencegah kekerasan menjadi solusi. Selama lebih dari sepekan, kedua negara saling meluncurkan rudal yang mengakibatkan perang terbuka di Timur Tengah. Ratusan nyawa melayang dari kedua belah pihak. Dampaknya meluas: fasilitas umum hancur, masyarakat sipil menderita, dan perekonomian kawasan anjlok secara drastis. Dunia hanya menyaksikan, sementara kehancuran terus mengintai.
Serangan mendadak Israel ke Teheran pada 13 Juni 2025 menandai satu babak kelam baru dalam sejarah konflik Timur Tengah. Babak yang sekali lagi menunjukkan bagaimana kekuasaan lebih memilih peluru daripada perundingan. Dengan menyasar infrastruktur non-militer seperti depo gas dan kilang minyak, serangan ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga memperlihatkan abainya prinsip-prinsip kemanusiaan dalam strategi perang modern. Puluhan warga sipil tewas, ratusan lainnya luka-luka, dan ketegangan melonjak drastis.
Ironisnya, tindakan ini tidak berdiri sendiri. Gelombang serangan lanjutan yang menargetkan fasilitas strategis Iran, termasuk instalasi nuklir dan markas militer, justru memperparah krisis yang seharusnya bisa dicegah melalui jalur diplomatik. Respons Iran dengan meluncurkan serangan balasan ke Tel Aviv, Haifa, dan Yerusalem memperkuat kenyataan pahit: dunia sedang berada di ambang bencana yang lebih besar.
Eskalasi ini bukan sekadar konflik regional. Ia merupakan peringatan keras bagi masyarakat internasional bahwa ketidakadilan, pembiaran, dan politik dua standar dalam merespons konflik justru memperluas jurang perpecahan. Dunia tidak bisa terus bersikap netral ketika korban utama dari setiap perang adalah rakyat biasa yang tidak pernah memilih untuk hidup di bawah bayang-bayang rudal.
Namun, harapan tidak akan tumbuh jika suara-suara muda terus diabaikan dalam pusaran politik global. Dunia terlalu lama diserahkan pada kepentingan elit bersenjata dan kekuatan negara yang mengedepankan egonya. Kami, generasi muda, muak menjadi penonton atas tragedi yang dipertontonkan atas nama kedaulatan dan pertahanan. Kami menuntut ruang untuk bersuara, berpartisipasi, dan menggugat norma-norma lama yang menganggap perang sebagai solusi.
Perdamaian bukan utopia. Ia mungkin tak mudah, tapi jelas lebih masuk akal daripada menghitung korban demi korban tanpa akhir. Di era keterhubungan global seperti sekarang, keberpihakan pada diplomasi seharusnya menjadi komitmen bersama—bukan pilihan sementara. Dunia membutuhkan pemimpin yang berani mendengar, bukan hanya memberi perintah.
Jika kekuasaan gagal membawa dunia pada keadilan dan keamanan, maka generasi muda harus menjadi arsitek arah baru peradaban: yang menolak balas dendam, yang tidak mendewakan senjata, dan yang percaya bahwa kemanusiaan jauh lebih penting daripada ambisi geopolitik.
Oleh karena itu, kami bertanya: Akankah masa depan terus dibangun di atas reruntuhan kota yang hancur oleh bom, atau di atas meja perundingan yang menjunjung akal sehat dan kemanusiaan? Sampai kapan dunia harus menormalisasi perang sebagai bagian dari strategi politik? Sampai kapan kehidupan rakyat sipil harus dikorbankan demi ambisi kekuasaan dan perebutan pengaruh geopolitik?
Kami, generasi muda, tidak ingin tumbuh dalam dunia yang menjadikan kekerasan sebagai warisan turun-temurun. Kami lelah menyaksikan para pemimpin berbicara tentang perdamaian sembari menandatangani kontrak senjata. Kami ingin dunia yang memilih keberanian untuk berdialog, bukan keberanian untuk menyerang. Kami percaya bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada seberapa besar arsenal militer sebuah negara, melainkan pada kemampuannya menahan diri dan memilih jalan damai.
Jika dunia hari ini gagal berubah, maka kamilah yang akan menjadi perubahan itu. Kami akan terus bersuara, membangun solidaritas lintas bangsa, dan mengingatkan bahwa masa depan tidak bisa dibiarkan ditulis oleh mereka yang memuliakan perang. Masa depan milik mereka yang berani memutus rantai kekerasan dan berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan. Dunia boleh saja dipenuhi ketegangan, tetapi harapan tetap hidup selama masih ada yang berani memilih perdamaian. Dan kami, generasi muda, memilih untuk berdiri di sisi yang benar dari sejarah.
Penulis: Frendy Saputro