Jalanan Membara, Parlemen Membisu.

Situasi demo yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2025. Sumber: Tempo.

Demokrasi tidak boleh menjadi panggung kosong. Ketika rakyat menagih janji dan bersuara, para petinggi seharusnya mendengar bukan bersembunyi. Namun beberapa hari terakhir, paradoks menyakitkan terlihat jelas; rakyat bersuara lantang di jalan, menuntut keadilan, dan menolak kesewenangan pemerintahan sementara “karyawan” berjoget dan tertawa di atas penderitaan “majikan”. Kami menginginkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersuara dan mendengarkan, bukan bungkam dan kabur mencari aman.

Kericuhan mulai terjadi di berbagai kota, terlahir dari meluapnya kekecewaan; kondisi ekonomi, sempitnya lapangan kerja, serta banyaknya kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat. Wajar jika rakyat marah karena merasa dikhianati. Bagaimana mungkin di tengah kesulitan ekonomi, meningkatnya pesaing kerja, dan pajak yang besar, muncul kebijakan yang berkesan meningkatkan kesejahteraan bagi elit politik. Dua kondisi yang sangat jauh berbeda ini menimbulkan jurang empati yang perlu dipertanyakan untuk dipertanggungjawabkan.

Di garis depan, aparat kepolisian mau tidak mau berdiri menghadapi kemarahan masyarakat—kemarahan yang sejatinya ditujukan kepada kebijakan yang menyimpang, bukan kepada warga biasa. Bentrokan pun pecah: gas air mata, aksi saling dorong, hingga pemukulan. Tindakan yang melukai warga tidak bisa dibenarkan; tugas polisi adalah melindungi, bukan melukai. Ketika ada laporan orang hilang dan adanya korban jiwa, pertanyaan sederhana muncul: apakah publik masih bisa mengandalkan kinerja kepolisian dalam menjamin keselamatan warga?

Aksi protes kemarin (29/08) berujung tragedi yang menyayat: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun, dilaporkan tewas setelah tertabrak sebuah kendaraan lapis baja milik aparat saat aksi berlangsung—sebuah peristiwa yang memantik kemarahan luas. Namun tragedi itu bukanlah satu-satunya. Tragedi di Makassar memperburuk suasana. Menurut laporan lokal dan penghitungan beberapa sumber, tiga orang—termasuk Muhammad Akbar Basri (dikenal sebagai Abay), Sarinawati, dan Saiful Akbar—meninggal setelah terjebak ketika gedung DPRD dibakar massa. Ada pula laporan bahwa beberapa warga terluka parah dalam insiden tersebut, salah satunya dikabarkan melompat dari lantai atas untuk menyelamatkan diri saat kebakaran terjadi.

Selain itu, laporan media lokal dan unggahan di media sosial menyebut nama-nama lain yang menjadi korban dalam berbagai insiden: Rusdamdiansyah disebut menjadi sasaran amuk massa karena diduga sebagai intel, Sumari dilaporkan mengalami sesak napas setelah terpapar gas air mata saat beristirahat di becaknya, dan ada pula laporan mengenai Rheza Sendy yang terjatuh dari motor saat mencoba menghindar dari gas air mata—jenazahnya kemudian ditemukan dengan luka-luka yang menurut beberapa unggahan diduga akibat penganiayaan. Semua klaim ini muncul dalam laporan awal media lokal dan unggahan warga; penegasan lebih lanjut menunggu hasil verifikasi dan investigasi resmi.

Di tengah konflik dan tragedi itu, publik tidak boleh lupa siapa yang memantik masalah: kebijakan dan hak istimewa legislatif yang kontroversial. DPR, lewat keputusan-keputusan yang dinilai jauh dari kepentingan rakyat, kerap dipandang sebagai akar masalah.

Kekesalan publik makin memuncak ketika muncul pernyataan anggota DPR yang terkesan jauh dari perspektif kerakyatan. Dalam siaran langsung yang viral, Nafa Urbach—anggota Komisi IX dari Fraksi NasDem—menyebut bahwa banyak legislator harus mengontrak rumah di dekat Senayan karena masalah kemacetan dari daerah seperti Bintaro. Pernyataan semacam itu, yang banyak dikutip di media sosial, justru memperdalam jurang empati antara wakil dan konstituen.

Seorang wakil rakyat semestinya berhati-hati dan menunjukkan empati saat berbicara di ruang publik; pernyataan yang tampak mengabaikan penderitaan rakyat hanya akan memperkuat kegeraman dan menuntut pertanggungjawaban yang lebih nyata dari DPR.

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan hanya kepercayaan publik terhadap DPR yang runtuh—legitimasi demokrasi pun ikut terancam. Saat rakyat merasa suaranya diabaikan, aparat kepolisian diposisikan sebagai perisai kekuasaan, sementara wakil rakyat tampak berlindung di balik jabatan dan fasilitas. Kesenjangan antara masyarakat dan wakilnya akan melebar, menipiskan kepercayaan publik dan meningkatkan risiko gejolak sosial yang berkelanjutan. DPR harus segera melakukan perbaikan nyata dan membuka ruang mendengar aspirasi masyarakat sebelum bara kemarahan di jalanan berubah menjadi api yang tak terkendali.

Perkembangan terakhir, masyarakat bergerak melakukan kampanye demi menemukan titik terang. Suasana semakin mencekam saat liputan televisi tampak tereduksi, sementara fitur siaran langsung di Instagram dan TikTok dibatasi; pembatasan ini bahkan berdampak pada aktivitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mengandalkan siaran langsung untuk berjualan.

Dari kegelisahan dan aksi itu lahir 17+8 tuntutan rakyat yang ditujukan kepada Presiden, DPR, ketua umum partai politik, kepolisian, TNI, serta kementerian terkait sektor ekonomi—mencakup tuntutan jangka pendek dan agenda reformasi jangka panjang. Tuntutan-tuntutan ini merangkum keresahan soal ekonomi, keterbukaan politik, dan perlunya reformasi penegakan hukum. Bagi banyak warga, ini adalah peringatan keras: kekuatan legitimasi pemimpin berasal dari dukungan rakyat, bukan semata privilege dan kekuasaan. Jika tuntutan ini diacuhkan, yang lenyap bukan hanya keyakinan, tetapi masa depan demokrasi.

Penulis: Ananda Alsya Febya Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *