
Sumber: Detikcom
Transformasi, Reformasi, Empati yang merupakan tagline dari tuntutan masyarakat yang tertuang dalam 17+8. Transparansi menuntut keterbukaan pemerintah dalam setiap proses pengambilan keputusan publik. Reformasi menegaskan urgensi perubahan sistem yang selama ini dianggap kurang efektif dan bahkan menghambat tercapainya keadilan. Sedangkan empati menjadi pengingat bahwa negara sekali-kali tidak boleh abai terhadap penderitaan rakyat. Sejatinya kebijakan publik harus lahir dari kemampuan memahami serta merasakan apa yang dihadapi oleh rakyat.
Ketiga jargon tersebut bukan sekadar tagline belaka, melainkan prinsip administratif yang wajib dijalankan dalam pemerintahan. Administrasi publik yang sehat selalu berdasarkan pada keterbukaan, perbaikan yang berkelanjutan, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat.
Di era digital dimana teknologi berkembang pesat, akses terhadap informasi seharusnya menjadi peluang untuk menjalankan sistem pemerintahan yang terbuka dan transparan. Namun demonstrasi besar yang berlangsung pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR RI justru menyoroti adanya perbedaan antara harapan akan transparansi dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat. Protes mengenai kenaikan tunjangan anggota DPR yang melebihi Rp 100 juta per bulan, termasuk tunjangan perumahan senilai Rp 50 juta, mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap cara pemerintah mengelola keuangan negara.
Keterbukaan yang sesungguhnya bukan hanya tentang menyediakan informasi tetapi juga berkaitan dengan cara pemerintah mengkomunikasikan kebijakan-kebijakannya kepada masyarakat secara terbuka.
Polemik kenaikan tunjangan DPR menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan masih kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara efektif. Rakyat merasa terkejut dengan jumlah tunjangan yang dianggap tidak sebanding, terutama dalam situasi ekonomi yang sulit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa komunikasi publik di pemerintahan tidak berjalan efektif dan masih kurangnya empati dari wakil rakyat terhadap kondisi nyata yang dihadapi oleh masyarakat.
Aksi demonstrasi yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pelajar, buruh, pengemudi ojek online, hingga warga biasa, menunjukkan bahwa kebutuhan akan keadilan dan empati melibatkan berbagai kelompok sosial. Aksi yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan di beberapa daerah, mencerminkan tingginya ketegangan sosial akibat kebijakan yang dianggap berpihak terhadap rakyat. Fenomena ini seharusnya menjadi momentum bagi penyelenggara negara untuk berbenah sehingga masyarakat kembali percaya akan integritas terhadap pemerintah.
Sebagai respons terhadap tekanan dari masyarakat, DPR akhirnya memutuskan untuk mengurangi beberapa tunjangan, termasuk menghentikan tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan mulai 31 Agustus 2025. Meskipun keputusan ini dinilai terlambat, hal ini menunjukkan bahwa kontrol sosial melalui demonstrasi terbukti mampu mendorong pemerintah untuk bertanggung jawab dan berbenah. Namun, respons yang baru diberikan setelah adanya demonstrasi besar-besaran harus menjadi evaluasi bagi pemerintah. Masyarakat menilai bahwa Indonesia memerlukan sistem transparansi yang proaktif, di mana pemerintah secara rutin dan sistematis melaporkan penggunaan pengeluaran anggaran negara serta melibatkan publik dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Di era 4.O informasi harus dimanfaatkan secara maksimal dalam membangun budaya keterbukaan. Pemerintah perlu mengembangkan platform digital yang mudah diakses untuk menyampaikan informasi keuangan negara, termasuk gaji dan tunjangan pejabat publik, dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Selain itu, mekanisme konsultasi publik harus diperkuat sebelum membuat keputusan strategis, terutama yang berkaitan dengan penggunaan dana publik. Kebutuhan masyarakat akan transparansi pemerintah diwakilkan dalam tuntutan 17+8 yang menjadi perbincangan akhir-akhir ini yaitu tuntutan rakyat untuk publikasi transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR) secara proaktif dan dilaporkan secara berkala. Keterbukaan yang sejati hanya dapat terwujud jika pemerintah tidak hanya membuka data, tetapi juga membuka hati dan telinga untuk mendengarkan aspirasi nyata rakyat.
Penulis: Elma Aurelia, Oktami Nur Fadila.