
Di tengah dinamika politik dan sosial, demokrasi kita tampak menangis: harapan terkoyak, kepercayaan menipis, dan tantangan nyata menggerogoti fondasinya. Sistem yang seharusnya menjadi tumpuan keadilan bagi suara rakyat kini terjerat krisis — sebuah persoalan yang harus kita sikapi bersama.
Krisis kepercayaan tak muncul begitu saja. Banyak warga merasa suaranya tak benar-benar didengar; hasil pemilu kerap dipertanyakan karena dianggap tidak mencerminkan kehendak rakyat secara adil. Ketidakpercayaan itu berakar pada praktik politik yang menempatkan kepentingan golongan atau elit di atas kepentingan publik.
Politik identitas kian menguat — bukan menyatukan, melainkan memecah-belah masyarakat. Ia berubah menjadi arena konflik horizontal yang meretakkan persatuan dan perlahan menggerogoti fondasi demokrasi.
Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah luka mendalam bagi demokrasi. Saat wakil rakyat memilih keuntungan pribadi daripada kepentingan publik — meski rakyat seharusnya menjadi pemegang kedaulatan — prinsip “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat” kian kehilangan maknanya.
Peran media dan arus informasi yang tidak sehat turut memperparah kondisi ini. Media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi kerap terjebak kepentingan tertentu, sementara buzzer menyebarkan informasi bias atau hoaks, sehingga masyarakat terpecah dan sulit membedakan fakta dari manipulasi.
Namun di balik semua duka itu masih ada secercah harapan. Demokrasi tidak mati; ia sedang berjuang. Partisipasi aktif masyarakat, transparansi pemerintahan, dan regenerasi kepemimpinan yang jujur serta bertanggung jawab adalah kunci untuk menyembuhkan luka-luka demokrasi.
Dengan komitmen bersama, demokrasi bisa bangkit kembali dari kesedihannya dan menjadi sistem yang benar-benar menjunjung tinggi keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Segera pulihlah, Ibu Pertiwi — kami, anak bangsamu, rindu pada masa sehatmu.
Penulis: Wahda Dhiyaul Karimah