
Poster Film “Berdoa, Mulai” (Source: youtube.com/degradians studio)
“Saya lebih suka disebut Humanis, ketimbang Pluralis” begitulah kira-kira pesan Gus Dur terhadap bu Khofifah sebelum kepergiannya.
Dalam resensi ini, saya tidak akan ambil pusing dan berputar-putar pada perdebatan definitif dan filosofis akan makna di balik kata Humanis dan Pluralis. Satu yang pasti, Film pendek berjudul “Berdoa, Mulai” yang akan saya ulas kali ini, Akan membawa kita semua pada Muhasabah Akbar, Tentang bagaimana para ahli ibadah seringkali lupa akan “habblumminannas” nya.
Cerita berfokus pada sosok Ruth, seorang remaja kristiani berusia 17 tahun, hidup dan bersekolah di lingkungan di mana umat kristiani jadi kelompok minoritas. Sebagai bagian dari kelompok minoritas di sekolahnya, Ruth seringkali harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan sekolah dan teman-teman sebayanya yang beragama islam.
Di sekolah, saat upacara, Ruth ikut menundukan kepala saat doa-doa mohon ampunan kepada allah di bacakan. Saat mata pelajaran agama islam berlangsung, Ruth juga ikut duduk dan memperhatikan penjelasan guru nya. Di jam istirahat, saat sedang makan di kantin, Ruth ditanyai soal rasa daging babi oleh temannya. Sesampainya di rumah, riuh suara toa masjid menemani sesi belajar Ruth.
Begitulah kehidupan Ruth sehari-hari di sekolah dan di rumah, sebagai minoritas ia harus pandai-pandai menempatkan diri agar tetap damai dalam menjalani hari.
Sesekali saat tiba masa ujian sekolah, Ruth biasanya harus pergi keluar sekolah dan bergabung dengan para siswa kristiani lain untuk mengikuti ujian pelajaran agama nya. Kali ini, ujian berjalan dengan cukup baik, tidak ada soal yang tak bisa dijawab, hanya beberapa yang dirasa cukup sulit. Semua pengalaman selama ujian itu Ruth bagikan pada ibunya saat makan malam.
Duduk bersama ibu nya juga ayah dan adik nya, Ruth diminta memimpin doa sebelum makan. Mereka mulai menundukan kepala dan berdoa selayaknya umat kristiani pada umumnya, Ruth membacakan doa kepada bapa di surga dengan hikmat, sangat amat hikmat, sampai pada akhirnya Ruth mengucap sepatah kata yang membuat orang tua dan adiknya melongo……
“bismillahirahmanirahim” begitulah kalimat yang terucap dari bibir Ruth sebelum ia menyendok suapan pertamanya.
Sebuah film yang cukup menggugah emosi. Perasaan malu, marah, senang semua timbul bergantian secara dinamis saat saya menonton film pendek ini. Ada rasa malu akan ketidakpekaan kita terhadap sesama, rasa marah tatkala sadar ini benar-benar terjadi, dan tawa tipis saat ironi dibungkus dalam canda muncul dari obrolan kecil remaja 17 tahun.
Di akhir film kita diperlihatkan bagaimana lingkungan mempengaruhi pribadi seorang Ruth. Kalimat basmallah terucap dari tutur lembut remaja kristiani itu, entah di sengaja atau hanya alam bawah sadar, yang pasti Ruth tak mungkin mengetahui kalimat basmallah kalau bukan dari orang sekitarnya
Tak ada yang salah dengan mengumandangkan doa-doa lewat pengeras suara, dan Sah saja mempertanyakan sesuatu tentang orang lain. Namun semestinya itu semua tak boleh mengganggu orang lain. Ruth mungkin tak pernah melontarkan protes dari mulutnya, tapi siapa yang tahu isi hati nya ?
Menjadi khalifah di bumi artinya menjadi penggerak utama dalam menegakkan kedamaian dibumi, kedamaian untuk setiap ciptaan tuhan. Ruth juga ciptaan tuhan walau dia belum mengimani tuhan, maka Ruth berhak menerima kedamaian nya, kedamaian fisik, kedamaian batin, dan damai yang bahkan tak ia pinta.
Kalaupun ucapan basmallah Ruth dianggap sebagai kebiasan yang timbul dari perilaku toleransi, rasanya pun masih bukan hal yang tepat. Menghargai klaim masing-masing dalam ketuhanan bukan berarti saling membenarkan klaim yang pada dasarnya berbeda. Gus Dur dengan citra toleransi nya pun tak pernah sekalipun dalam masa hidupnya ia memohon dan menyembah yesus. Tapi Gus Dur tak pernah lupa memanusiakan setiap manusia tak ubah apa agama nya.
Jadilah manusia yang hidup selayaknya manusia dengan memanusiakan orang lain, terutama bagi kita sebagai seorang muslim.
Jadilah seorang muslim, jadilah pendengar yang baik hingga penjahat mampu menangis di pelukan mu.
Jadilah seorang muslim, jadilah pemerhati yang baik hingga seekor semut merasa dirinya diperhatikan.
Jadilah seorang muslim, jadilah seorang yang humanis dan tanamkanlah kenangan manis pada setiap ciptaan tuhan.
Penulis: Yusuf Adytiya