
Gambar : Kereta Cepat Whoosh – Foto: Dok. KCIC
“Siapa sebenarnya yang menikmati kereta ini?”
Pertanyaan ini terbenak dalam pikiran saya setiap kali berita tentang kereta cepat Whoosh yang dinarasikan sebagai kemajuan modernisasi transportasi massalI di Indonesia pada tahun 2023 lalu. Sejak peluncurannya pada 17 Oktober 2023, Indonesia terlihat tampak gagah karena menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki kereta cepat. Namun di balik kebanggaan nasional itu, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah proyek ini benar-benar pro rakyat, atau justru mencerminkan jurang ketimpangan baru dalam wajah pembangunan kita?
Ketika proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung dimulai, pemerintah menjanjikan skema business to business (B2B) tanpa beban bagi APBN. Nyatanya, janji itu tak bertahan lama. Biaya proyek yang semula diperkirakan Rp 86 triliun membengkak hingga lebih dari Rp 113 triliun. Pada akhirnya, pemerintah menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menutup kekurangan pendanaan dan membantu membayar kewajiban kepada China Development Bank (CDB).
Janji awal proyek bahwa skema pembiayaan bersifat business-to-business tanpa membebani APBN rupanya tak sepenuhnya terpenuhi di mata publik: ketika kebutuhan modal bertambah dan pendapatan operasional belum memenuhi target proyeksi, pemerintah turun tangan melalui suntikan modal atau opsi-opsi pembiayaan lain untuk menstabilkan perusahaan pelaksana. Penyelesaian kewajiban ini menjadi titik tarik antara operator, pemberi pinjaman, dan negara.
Meski begitu, Menteri Keuangan saat ini, yaitu Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan menolak membebankan pembayaran utang Whoosh ke APBN, pernyataan inni mengindikasikan ketegasan menjaga disiplin fiskal dan menolak risiko sosialisasi utang proyek komersial. Penolakan ini juga memicu perdebatan publik dan opsi restrukturisasi lain yang sedang dibahas oleh pihak operator dan pemberi pinjaman.
Dari sisi masyarakat pengguna, manfaat dari adanya kereta cepat ini juga dipertanyakan. Hal ini dikarenakan tarif tiket reguler Whoosh untuk kelas Premium Economy bergerak pada kisaran ratusan ribu rupiah per perjalanan, sementara kelas bisnis dan first class jauh lebih mahal, level harga yang für sebagian besar pekerja harian, pelajar, dan pemilik usaha mikro dianggap tidak ramah dompet. Meski, skema promo dan kartu langganan menurunkan tarif pada periode tertentu, tetapi struktur harga tetap menunjukkan bahwa Whoosh lebih menguntungkan segmen menengah ke atas
Dari dinamika proyek ini, hal ini memicu pertanyaan bernada sama seperti pertanyaan saya di awal: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh proyek ini? Kalangan menengah ke atas mungkin menikmati waktu tempuh yang lebih singkat, tetapi mayoritas masyarakat tetap menggantungkan hidup pada transportasi konvensional. Dengan kata lain, modernisasi ini menciptakan mobilitas dua kelas, yang cepat dan nyaman di atas rel, dan yang tertinggal dalam antrean bus dan kereta lokal di bawahnya.
Pemerintah sering berargumen bahwa proyek ini mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan dan membuka lapangan kerja. Namun efek berganda (multiplier effect) tersebut masih terbatas. Infrastruktur di sekitar stasiun memang tumbuh, tetapi tidak semua warga lokal terlibat atau diuntungkan. Sebagian malah terpinggirkan oleh naiknya harga tanah dan biaya hidup baru di sekitar proyek.
Dari sudut pandang sosial-politik, Whoosh memperlihatkan bagaimana narasi kemajuan sering kali menjadi alat legitimasi kekuasaan. Pemerintah ingin menunjukkan bahwa Indonesia telah “naik kelas”, tetapi lupa bahwa keberlanjutan pembangunan bergantung pada kepercayaan rakyat. Ketika publik melihat proyek yang membebani fiskal dan tidak inklusif, kepercayaan itu perlahan tergerus.
Sebagai generasi muda, kita perlu belajar dari proyek ini: bahwa pembangunan fisik tanpa keadilan sosial adalah kemajuan yang pincang. Teknologi boleh memukau, tapi kebijakan publik seharusnya berpijak pada kebutuhan rakyat, bukan pada kecepatan yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.
Kereta cepat mungkin telah menghubungkan Jakarta dan Bandung dengan waktu yang efisien. Tapi apakah ia juga menghubungkan penguasa dengan nurani rakyatnya? Apakah ia mempercepat kesejahteraan, atau hanya mempercepat jarak antara yang kaya dan yang miskin? Di tengah sorotan pada proyek-proyek besar era modern ini, pertanyaan paling sederhana tetap relevan: apakah kebijakan yang cepat otomatis berarti kebijakan yang tepat? Kereta cepat Whoosh bisa jadi simbol kemajuan, tetapi kemajuan sejati baru lahir ketika kebijakan berpihak pada manusia — bukan sekadar pada angka, kecepatan, dan citra.
Penulis:Muhammad Ilham