
Sumber: Greenpeace Indonesia
Laut Indonesia kembali jadi panggung bagi kejahatan lintas negara. Dua kapal asing bernama Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 terbukti melakukan pencurian hampir 200 ton ikan di Laut Arafura, Maluku, serta memperbudak puluhan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia. Fakta ini diungkap lewat investigasi Greenpeace Indonesia dan laporan lapangan yang menunjukkan bahwa operasi ini bukan hanya pencurian ikan, tapi sindikat perdagangan manusia dengan jaringan yang menjangkau dari China hingga Jawa Tengah.
Awal Mula Perekrutan: Dari Facebook ke Laut Arafura
Berdasarkan laporan Greenpeace Indonesia, semuanya bermula dari media sosial. Lebih dari 56 orang, sebagian besar anak muda dari Jawa Tengah, Sumatera, dan Jawa Timur, direkrut melalui iklan kerja palsu di Facebook. Mereka dijanjikan pekerjaan bergaji besar sebagai ABK, padahal tak ada kontrak, tak ada izin resmi, dan sebagian di bawah umur. Para calon pekerja kemudian dikumpulkan di Pati dan diberangkatkan lewat kapal Indonesia bernama KM Kemus. Begitu tiba di Laut Arafura, mereka langsung dipindahkan ke kapal asing Run Zeng 03 dan Run Zeng 05, berbendera Rusia namun dimiliki oleh perusahaan China bernama Hangzhou Wang Gong Industry Co. Ltd. Dari sinilah mimpi mereka berubah jadi mimpi buruk.
Eksploitasi di Laut: Kerja Paksa dan Kekerasan
Berdasarkan laporan yang didapatkan Greenpeace Indonesia, di atas kapal, para ABK dipaksa bekerja memindahkan 100 ton ikan dan 150 ton bahan bakar illegal tanpa dibayar. Mereka hanya tidur tiga jam sehari, makan seadanya, kadang satu nampan untuk 27 orang dan minum air hasil tetesan Air Conditioner (AC). Seorang ABK bernama Sanusi bersama lima rekan lain nekat melompat ke laut demi melarikan diri. Mereka berenang delapan kilometer hingga diselamatkan warga Pulau Warabal, Maluku Selatan. Namun, satu dari mereka ditemukan tewas tanpa kepala, diduga akibat kekerasan selama di kapal.
Jaringan Mafia di Balik Kapal Run Zeng
Pemilik kapal Run Zeng, lewat Hangzhou Wang Gong Industry, disebut menggunakan berbagai cara untuk menembus aturan Indonesia. Mereka membayar 5 juta yuan (sekitar Rp11 miliar) kepada seorang warga negara Indonesia untuk mendapatkan izin operasi “legal”. Selain itu, ada keterlibatan PT Perikanan Budidaya Laut, yang diwakili oleh seseorang bernama Hasan Sadikin Pan, dalam perjanjian senilai Rp500 juta untuk memuluskan izin tangkap ikan di Indonesia. Pemilik kapal juga bekerja sama dengan seorang perantara bernama Gunawan Winarso, yang bertugas mengurus izin, perekrutan ABK, serta suplai logistik dan bahan bakar untuk kapal Run Zeng. Gunawan menggunakan kapal KM Kemus sebagai alat transportasi ABK dan logistik tanpa dokumen resmi.
Dugaan Restu dari Pejabat dan Oknum Aparat
Laporan Greenpeace Indonesia yang dikeluarkan pada 18 Oktober 2025 menyinggung dugaan keterlibatan sejumlah pejabat tinggi yang diduga memberi restu atau menutup mata atas operasi kapal Run Zeng. Nama-nama yang disebut diantaranya adalah Pung Nugroho Saksono, Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamana Muda TNI Adin Nur Awaludin, mantan Dirjen PSDK, Brigjen Deni, Kolonel Fuad Ihsan, Kolonel Yuyus Wahyudin. Mereka disebut dalam proses peradilan sebagai pihak yang memberi izin alih muatan, pembongkaran ikan di pelabuhan Dolak, serta penentuan titik koordinat kapal di Laut Arafura. Meski kapten KM Kemus sudah divonis bersalah, aktor-aktor utama lainnya termasuk Gunawan dan Hamda (penghubung pelabuhan) masih bebas. Pemilik kapal asing aman di luar negeri, sementara para calo masih merekrut ABK baru hingga kini.
Lemahnya Pengawasan Pelabuhan
Menurut laporan, kapal Run Zeng bahkan sempat berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta – yang bukan pelabuhan berstatus Port State Measures Agreement (PSMA). Tak ada pemeriksaan menyeluruh terhadap dokumen kapal, izin ABK, atau muatan. Syahbandar dan petugas pengawasan pelabuhan disebut lalai memeriksa dokumen seperti Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dan kontrak kerja. Padahal, bila sistem pengawasan bekerja sebagaimana mestinya, kapal yang mengangkut ABK di bawah umur seperti KM Kemus tak akan pernah diizinkan berlayar.
Kerugian Negara dan Dampak Lingkungan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat sejak Januari hingga Mei 2025 terdapat 34 kapal ilegal yang tertangkap di perairan Indonesia – enam di antaranya kapal asing. Potensi kerugian negara mencapai Rp74,3 miliar, belum termasuk kerusakan ekosistem laut akibat alat tangkap destruktif seperti double trawl yang digunakan kapal Run Zeng.
Desakan Publik dan Seruan Reformasi
Greenpeace Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah melakukan reformasi total sistem perizinan dan pengawasan laut, termasuk:
– Meratifikasi Konvensi ILO 188 untuk melindungi hak pekerja perikanan.
– Melakukan audit menyeluruh terhadap izin kapal asing.
– Menindak seluruh aktor, dari pemilik kapal hingga mafia perekrut ABK.
“Ini bukan hanya soal satu kapal asing,” kata Greenpeace Indonesia dalam laporan resminya. “Ini soal martabat nelayan kita dan kedaulatan laut Indonesia.”
Laut Indonesia adalah sumber kehidupan, bukan kuburan bagi para pekerja muda yang mencari nafkah. Kasus kapal Run Zeng 03 dan 05 menunjukkan bahwa ketika hukum bisa dibeli, manusia jadi korban. Selama jaringan mafia perikanan dan pejabat korup masih beroperasi, tragedi seperti ini akan terus berulang – hanya berganti nama kapal dan wajah korban. Jika laut terus dibiarkan dirampok, maka yang hilang bukan hanya ikan, tapi juga masa depan bangsa yang hidup dari lautnya sendiri.
Penulis: Kusmawardany Zainuddin
