Oleh: R. Ayu Kamiliya Zahra

Menelisik ruang digital akhir-akhir ini dipenuhi tren-tren menarik dan menciptakan FOMO di kalangan pemuda, APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mencatat platform TikTok menjadi aplikasi dengan angka pengguna tertinggi di Indonesia pada tahun 2025, yaitu 35,17 persen pengguna. TikTok sangat diminati sebab format video pendeknya yang cenderung efisien, algoritma FYP (For your page) yang tepat sasaran, dan fitur-fitur unik yang rutin diperbarui. Tren di dunia maya kini sering kali muncul dari para influencer TikTok, tidak hanya berbentuk hiburan/seni (tarian), tetapi juga melalui motivasi bisnis.
Tren ‘perintis bukan pewaris’ mulai booming saat influencer Timothy Ronald membagikan unggahan berupa motivasi bagi para pemuda Indonesia agar mulai memperjuangkan hidupnya untuk menjadi kaya melalui merintis bisnis. Tren ini merujuk pada keadaan pemuda Indonesia yang mayoritas bukan berasal dari keluarga konglomerat, sehingga memaksa mereka untuk merintis sebagai bentuk memperjuangkan masa depan. Setelahnya, influencer lainnya mulai bermunculan melalui unggahan video secara mandiri maupun melalui podcast, membagikan kisah hidup mereka yang memulai bisnis dari nol hingga berhasil memiliki aset melimpah ruah.
Hal itu cukup membuka mata sebagian pemuda Indonesia tentang pentingnya menjadi kaya dan memiliki aset untuk jangka panjang di tengah dunia kapitalis seperti saat ini. Mereka berasumsi, memperjuangkan materi bukan berarti gila kenikmatan dunia, melainkan materi adalah salah satu cara mereka bertahan hidup dan dimanusiakan di tengah dunia yang sulit menemukan keadilan. Konten seperti ini berdampak lebih baik daripada konten joget, challenge, dsb, dalam membangkitkan semangat pemuda untuk maju dan mengubah nasib diri sendiri beserta keluarga.
Masing-masing influencer memiliki pandangan dan strategi jitu yang berbeda. Satu hal yang disoroti tentang kesamaan strategi dagang dari beberapa influencer saat pertama kali memulai bisnis adalah pada umumnya, mereka menjual produk-produk impor dengan harga dan kualitas yang proporsional. Konteks ini realitanya kebanyakan merujuk pada produk-produk Asia Timur. Salah satu influencer bisnis yang akrab disapa ci Vanessa membagikan pengalaman mendapatkan satu miliar pertamanya melalui bisnis produk impor dari Tiongkok melalui sebuah podcast, sebab produk Tiongkok memiliki kualitas bagus dengan harga relatif murah.
Ia kemudian mendorong audiens untuk memulai bisnis impor produk negara tersebut. Jauh sebelum itu, masuknya produk luar ke Indonesia kerap terlihat melalui bisnis thrift pakaian dan kuliner di mal atau pasar-pasar yang umumnya berasal dari negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Fenomena seperti ini justru mempertanyakan nilai kebangsaan yang ada dalam diri para pemuda Indonesia. Dengan kata lain, anak bangsa mungkin memang berkembang, namun dengan mempertaruhkan nasionalismenya.
Sebenarnya tidak ada yang salah pada strategi para Influencer bisnis dengan menganalisis pasar di Indonesia yang sampai saat ini produk Asia Timur tetap populer. Hal itu mendorong para perintis memusatkan perhatiannya pada produk-produk luar, berkualitas, serta harga impor murah. Artinya, para perintis lebih memprioritaskan keuntungan pribadinya, ketimbang fokus pada pembangunan produk dalam negeri. Inovasi mereka pula tertuju pada produk luar, sehingga keinginan inovasi dan renovasi produk dalam negeri masih terhitung sedikit.
Berbicara tentang keuntungan pribadi di atas nasionalisme, pemuda pasti dihadapkan dengan dua prioritas yang sulit, antara perjuangan mengubah nasib dan memajukan produk Indonesia sebagai bentuk nasionalisme. Secara tidak sadar, mereka hanya terpengaruh oleh strategi para influencer yang pada dasarnya menggunakan strategi bangsa Tionghoa. Dalam berdagang, bangsa Tionghoa biasanya mementingkan tren pasar, kualitas barang, dan harga yang proporsional.
Tentunya, tidak semua nilai-nilai bangsa lain dapat diterapkan di Indonesia yang masih memperjuangkan kemandirian ekonomi nasional. Jika produk Indonesia sudah kalah dengan produk impor, maka ketergantungan Indonesia terhadap negara lain tidak akan usai. Kemandirian ekonomi nasional akan sulit terwujud, Indonesia juga akan terus menyesuaikan standar-standar ekonomi negara lain. Di samping memang Indonesia belum bisa mencukupi kebutuhan rakyatnya, seperti fasilitas UMKM yang kurang memadai dan tidak ada bantuan dana bisnis seperti yang dilakukan bangsa Tiongkok, dukungan rakyat atas produk Indonesia menjadi penunjang kemajuan negara untuk selanjutnya dapat memakmurkan rakyat pula.
Peran Influencer juga penting mendorong para perintis agar memusatkan perhatiannya pada produk Indonesia. Daripada mempercantik produk luar negeri, alangkah lebih baiknya mereformasi dan merenovasi produk Indonesia agar tidak hanya populer di dalam negeri, melainkan pula diminati konsumen luar. Dengan demikian, Indonesia dapat bebas dari belenggu ketergantungan terhadap negara lain dan kemandirian ekonomi nasional akan terwujud.
