Oleh: Etika Rahma Setya

Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya budaya digital, rasa nasionalisme seolah mendapat ruang baru untuk tumbuh sekaligus untuk memudar. Fear of missing out (FOMO), fenomena yang menjadi cermin bagaimana kecemasan atau tekanan sosial ketika seseorang merasa tertinggal dari orang lain akibat tidak mengikuti tren, kegiatan, atau topik tertentu, terlebih di dunia maya. Bukan menjadi tabu, kemudian banyak anak muda yang mengangkat isu nasionalisme atau isu-isu lain hanya sebatas tren, dan tidak tahu letak urgensinya. Bayangkan, ketika suatu isu mencuat sebagai trending topik, generasi digital berbondong-bondong menuntun isu tersebut, sebagian mungkin mengerti akan isu yang dibawa, sebagian lain barangkali hanya sekadar mengikuti, ya FOMO dan eksistensi semu.
Setelah membaca itu, bisa saja muncul hipotesis bagi “pemuda” yang bertolak belakang dengan narasi tersebut. Apakah kita harus meneliti terlebih dahulu sebelum membagikan isu? Atau kita harus mengobservasi selayaknya penyusunan penelitian ilmiah? Jawabannya, tidak. Kita lihat sejenak, piramida taksonomi bloom. Dimana tingkat berpikir yang dasar yaitu memahami rasanya perlu diterapkan ketika kita hendak membagikan tren. Tidak perlu menargetkan tinggi, kesadaran nasionalisme tidak selalu harus diwujudkan dengan hal yang utopis, bukan?
Orientasi yang semu, itulah yang lama-kelamaan membiaskan pemahaman generasi muda akan makna nasionalisme. Mengurangi nalar kritis, kemudian menganggap bahwa hanya dengan turut FOMO dalam isu negara, merupakan suatu bentuk cinta tanah air. Lebih daripada itu, mari kita memakai kacamata untuk menerawang lebih jelas realita yang ada. Bukan untuk mengkritisi hal-hal yang telah dilanggengkan oleh sekelompok masyarakat digital tersebut. Tetapi sebagai refleksi, apakah per hari ini kita masih merawat dengan baik rasa nasionalisme dalam diri?
Secara tidak sadar, kaum muda kian terjebak dalam budaya eksistensi semu di media sosial. Apabila setapak jalan ini dibiarkan dalam arah yang tidak jelas, maka akan meninggalkan jejak yang terus-menerus dipijaki oleh generasi selanjutnya. Karena dunia akan terasa hambar jika tidak diresapi makna yang mendalam. Maka perlu adanya upaya pemuda untuk membebaskan diri dari belenggu semu dan mengembalikan makna nasionalisme digital yang substansial.
Pemuda memang berada di persimpangan zaman, tetapi bukan menjadi halangan untuk memanjangkan usia semangat sumpah pemuda. Nasionalisme digital, merupakan ruang bagi pemuda dalam gempuran teknologi untuk mencintai bangsa. Tetapi semestinya tidak berhenti di layar saja, melainkan menyelam menjadi tindakan. Implementasinya bukan tentang menyuarakan isu tetapi juga memahami dan berperan di dalamnya. Misalnya, dengan menguatkan dan menyebarkan giat literasi, tidak menjadi pelaku ujaran kebencian, atau sekadar menjadi pengingat teman agar lebih bijak dalam bermedia. Mungkin, dampak dari hal semacam ini tidak nampak secara terbuka yang benar-benar terlihat. Namun, langkah sederhana ini bisa menjadi bentuk cinta tanah air yang bermakna.
Ruang digital sejatinya adalah cermin, tempat nilai dan perilaku kita dipantulkan. Jika kita memancarkan euforia sesaat tanpa pemahaman, maka cermin itu hanya memantulkan bayangan nasionalisme yang samar. Maknanya kian memudar bersama algoritma yang berubah setiap hari. Rasa cinta tanah air juga kian menguap, kehilangan substansi seakan hanya formalitas untuk sekadar terlihat peduli. Berbeda ketika kita menapaki setapak demi setapak kesadaran digital, cermin itu dapat menampilkan jati diri bangsa yang sejati. Melalui pemahaman yang kita miliki, barulah kita bisa turut serta memberikan edukasi dengan dasar pengetahuan yang kredibel agar tidak terjadi misinformasi.
Nasionalisme tidak lagi harus diteriakkan di jalanan atau digaung-gaungkan lewat slogan saja. Ia bisa hidup dalam genggaman diri, apabila setiap pemuda sadar akan tanggung jawab digitalnya. Setapak kecil ini, sekilas tampak sepele, namun justru di sanalah pijakan masa depan itu dapat terbentuk kuat. Melahirkan jejak langkah yang lebih kokoh untuk menyongsong semangat sumpah pemuda sampai selama-lamanya. Kita, para pemuda, sudah siapkah?
