
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 pada 18/11/2025 menuai berbagai kritik dan kecaman dari masyarakat terutama masyarakat digital. Gelombang penolakan terhadap RUU KUHAP yang viral di media sosial mencerminkan meningkatnya kesadaran publik terhadap isu hukum dan kebebasan sipil di Indonesia. Di tengah pesatnya arus informasi digital, masyarakat kini tidak lagi pasif menghadapi rancangan regulasi yang dianggap berpotensi membatasi hak-hak dasar warga negara. Media sosial kemudian menjadi arena kritik, edukasi, dan konsolidasi opini publik secara cepat dan masif.
Banyak netizen menyuarakan keprihatinan bahwa beberapa pasal dalam RUU KUHAP dinilai berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, memperluas kewenangan aparat tanpa mekanisme kontrol yang kuat, serta melemahkan prinsip transparansi penegakan hukum. Kekhawatiran terbesar bukan hanya pada isi pasalnya, tetapi juga pada kemungkinan penyalahgunaan kewenangan jika pasal-pasal tersebut disahkan tanpa revisi mendalam.
Secara sosiologis, kritik yang disuarakan oleh masyarakat di media digital merupakan reaksi masyarakat terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat yang di ekspresikan melalui proses interaksi sosial melalui ruang-ruang digital. fenomena protes ini menggambarkan dua hal penting. Pertama, masyarakat semakin kritis terhadap regulasi yang berdampak langsung pada hak sipil. Mereka tidak segan menggunakan platform digital—seperti X, TikTok, dan Instagram—untuk mengungkapkan pandangan, membuat analisis populer, hingga menciptakan kampanye kreatif. Kedua, media sosial telah menjadi ruang demokratis baru, tempat masyarakat lintas profesi, akademisi, pegiat hukum, hingga publik umum bersuara dan saling menguatkan argumen.
Terlepas dari dinamika politik di balik pembahasan RUU tersebut, suara penolakan publik yang viral ini menunjukkan bahwa warga berharap proses legislasi dilakukan lebih terbuka, partisipatif, dan berpihak pada perlindungan hak asasi manusia. Bagi sebagian orang, protes ini bukan hanya tentang menolak sebuah rancangan undang-undang, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap masa depan demokrasi dan sistem peradilan pidana yang adil.
Viralnya gelombang penolakan RUU KUHAP di media sosial juga menunjukkan bahwa publik tidak lagi mau dianggap sekadar objek kebijakan. Masyarakat kini memposisikan diri sebagai pengawas yang aktif, memantau setiap langkah legislasi yang berpotensi mempengaruhi kebebasan sipil. Dalam banyak unggahan, kritik yang muncul tidak hanya emosional, tetapi juga disertai analisis hukum, data, serta pandangan pakar yang diolah menjadi narasi populer. Hal ini mengindikasikan bahwa tuntutan publik bukan sekadar penolakan spontan, melainkan dorongan agar negara lebih bertanggung jawab dalam memastikan regulasi benar-benar melindungi hak warga.
Lebih jauh, fenomena ini memperlihatkan adanya krisis kepercayaan terhadap proses legislasi yang sering dinilai tertutup dan kurang dialogis. Ketika informasi mengenai pasal-pasal kontroversial lebih dulu menyebar melalui ruang digital ketimbang disampaikan secara resmi oleh pemerintah, wajar bila masyarakat merasa perlu terlibat langsung melalui platform yang mereka kuasai. Media sosial akhirnya menjadi alat koreksi publik terhadap negara, sekaligus ruang untuk mengingatkan bahwa hukum seharusnya berpihak pada keadilan, bukan memudahkan represi.
Penulis: Frendy Saputro
