RUU KUHAP dan Ancaman Sunyi terhadap Kebebasan Kita

Sumber: tribunnews.com

Gelombang penolakan terhadap RUU KUHAP yang viral di media sosial mencerminkan meningkatnya kesadaran publik terhadap isu hukum dan kebebasan sipil di Indonesia. Di tengah pesatnya arus informasi digital, masyarakat tidak lagi pasif terhadap rancangan regulasi yang berpotensi membatasi hak dasar warga negara. Sebaliknya, mereka menggunakan platform digital untuk kritik, edukasi, dan konsolidasi opini publik secara cepat dan masif.

Banyak pengguna media sosial menyuarakan kekhawatiran bahwa sejumlah pasal dalam RUU tersebut berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, memperluas kewenangan aparat tanpa pengawasan memadai, dan melemahkan prinsip transparansi penegakan hukum. Kekhawatiran itu bukan sekadar reaksi emosional. Banyak unggahan yang disertai analisis hukum, data, dan pendapat pakar, menunjukkan tuntutan agar legislasi berjalan dengan hati-hati dan berorientasi pada perlindungan hak asasi.

Fenomena protes ini menggambarkan dua hal penting. Pertama, publik semakin kritis terhadap regulasi yang berdampak langsung pada kebebasan sipil dan menuntut keterbukaan proses pembahasan. Mereka tidak segan menggunakan platform digital seperti X, TikTok, dan Instagram untuk mengungkapkan pandangan, membuat analisis populer, hingga menciptakan kampanye kreatif. Kedua, media sosial telah berfungsi sebagai ruang demokratis baru, tempat masyarakat lintas profesi, akademisi, pegiat hukum, hingga publik umum berinteraksi untuk memperkuat argumen kolektif.

Terlepas dari dinamika politik di balik pembahasan RUU tersebut, suara penolakan publik yang viral ini menunjukkan bahwa warga berharap proses legislasi dilakukan lebih terbuka, partisipatif, dan berpihak pada perlindungan hak asasi manusia. Bagi sebagian orang, protes ini bukan hanya tentang menolak sebuah rancangan undang-undang, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap masa depan demokrasi dan sistem peradilan pidana yang adil.

Lebih jauh, fenomena ini memperlihatkan adanya krisis kepercayaan terhadap proses legislasi yang sering dinilai tertutup dan kurang dialogis. Ketika informasi mengenai pasal-pasal kontroversial lebih dulu menyebar melalui ruang digital ketimbang disampaikan secara resmi oleh pemerintah, wajar bila masyarakat merasa perlu terlibat langsung melalui platform yang mereka kuasai. Media sosial akhirnya menjadi alat koreksi publik terhadap negara, sekaligus ruang untuk mengingatkan bahwa hukum seharusnya berpihak pada keadilan, bukan memudahkan represi.

Viralnya gelombang penolakan RUU KUHAP di media sosial juga menunjukkan bahwa publik tidak lagi mau dianggap sekadar objek kebijakan. Masyarakat kini memposisikan diri sebagai pengawas yang aktif, memantau setiap langkah legislasi yang berpotensi mempengaruhi kebebasan sipil. Dalam banyak unggahan, kritik yang muncul tidak hanya emosional, tetapi juga disertai analisis hukum, data, serta pandangan pakar yang diolah menjadi narasi populer. Hal ini mengindikasikan bahwa tuntutan publik bukan sekadar penolakan spontan, melainkan dorongan agar negara lebih bertanggung jawab dalam memastikan regulasi benar-benar melindungi hak warga.

Penulis: Frendy Saputro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *