Perdebatan tentang apakah rakyat boleh memecat anggota DPR kembali mengemuka. Gagasan ini sangat masuk akal dan bukan sekadar retorika. Karena sejatinya ia mencerminkan kebutuhan dasar demokrasi. Rakyat memilih, memberi kepercayaan, dan berharap wakilnya bekerja. Namun, ketika kepercayaan dikhianati, masyarakat tidak punya pilihan kecuali mengeluh di media sosial atau menunggu lima tahun hingga pemilu berikutnya.
Dalam praktik sehari-hari, jika kita membayar seseorang untuk bekerja dan hasilnya buruk, kita bisa menghentikan kerja sama dengan mereka. Mengapa dalam politik, pihak yang memberi suara dan membayar melalui pajak justru tidak punya kuasa memberhentikan wakilnya selain menunggu lima tahun pemilu? Kondisi ini menciptakan jurang ketidakadilan. Publik hanya bisa mengeluhdi media sosial tanpa jalan formal untuk memperbaiki representasi di parlemen.
Gagasan agar masyarakat bisa menonaktifkan anggota DPR bukanlah sesuatu untuk menciptakan kekacauan di negara. Ini masalah keadilan yang mendasar: jika ada pihak yang tidak menjalankan tugasnya, maka tentunya harus ada sistem untuk menggantikannya.
Tentu, mekanisme pencopotan harus transparan dan diatur ketat agar tidak disalahgunakan. Perlu standar bukti yang kuat, presentase suara yang jelas, dan proses pemeriksaan independen bahwa anggota DPR benar-benar tidak melaksanakan tugasnya atau melanggar norma. Tujuannya bukan mempermudah oemecatan karena perbedaan pendapat, melainkan menjamin akuntabilitas ketika terjadi pelanggaran nyata atau pengabaian tugas.
Namun ada satu hal yang pasti. Masyarakat perlu pegangan, bukan hanya janji semata. Jika wakil rakyat bekerja dengan baik, mereka akan aman. Namun jika tidak, masyarakat berhak memiliki “tombol darurat”.
Dengan adanya mekanisme seperti ini, para wakil rakyat mungkin akan lebih berhati-hati dalam bekerja, lebih mendengarkan, dan lebih menghargai kepercayaan publik. Karena mereka menyadari bahwa amanah itu bukan sekadar jabatan, itu adalah kepercayaan yang bisa dicabut kapan saja jika diabaikan.
Pada akhirnya, politik bukan hanya tentang regulasi atau undang-undang saja. Ini berkaitan dengan perasaan: perasaan memiliki, perasaan diawasi, dan perasaan diberdayakan. Memberikan masyarakat hak untuk mengevaluasi dan menjatuhkan wakilnya merupakan salah satu cara paling manusiawi untuk menjaga perasaan itu tetap ada.
Penulis: Annisa Qurotaa’yun
