
.
Seni bukan sekadar sarana untuk mengkonsumsi hiburan; seni juga bisa menjadi alat perlawanan, untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Melalui lagu, puisi, atau karya visual, seniman mampu melancarkan berbagai kritik tajam terhadap penindasan dan kebijakan yang mengorbankan rakyat—bahkan sampai merenggut nyawa generasi muda. Di Indonesia, Iwan Fals adalah contoh klasik: karyanya sejak 1980-an kerap mengangkat persoalan sosial dan politik. Di panggung internasional, band seperti System of a Down (SOAD) memainkan peran serupa.
System of a Down, band heavy metal asal Los Angeles yang beranggotakan Serj Tankian, Daron Malakian, Shavo Odadjian, dan John Dolmayan, dikenal menggabungkan metal, punk, funk, dan musik tradisional Armenia. Nama System of a Down diambil dari puisi karya Daron Malakian berjudul “Victims of a Down”. Anggota band kemudian mengganti kata “Victims” menjadi “System” untuk memberi makna yang lebih luas sekaligus menempatkan nama mereka lebih menguntungkan secara alfabet terhadap band-band populer saat itu. Keempat anggota SOAD memiliki darah Armenia dan kerap menggunakan musiknya untuk menyuarakan isu-isu dari tanah leluhur mereka serta problem kemanusiaan lainnya.
Sejak terbentuk pada 1994, mereka kerap menaruh kritik sosial dalam liriknya. Lagu seperti “B.Y.O.B.” (Bring Your Own Bombs) menyindir logika perekrutan militer dan retorika perang—misalnya baris yang mempertanyakan: “Why do they always send the poor?”—sebuah pertanyaan yang menggarisbawahi bagaimana beban perang sering ditimpakan pada kaum kurang beruntung. Selain itu terdapat juga lirik “you depend on our protection, yet you feed us lie from the tablecloth”, yang menggambarkan bagaimana kekuatan seharusnya berasal dari rakyat, namun kerap disusupi kebohongan yang disebarkan lewat kontrol media dan propaganda. Hal serupa berulang di sejumlah single SOAD, di mana kritik sosial disalurkan lewat dentuman musik metal progresif yang keras dan penuh energi.
Kehadiran musisi seperi System of a Down memberi napas baru bagi demokrasi tanpa mengorbankan nilai seni. Singkatnya, seni memiliki peran ganda: menghibur sekaligus mengawasi kekuasaan—tidak melewati prosedur formal, melainkan melalui bentuk-bentuk ekspresi yang mudah diterima publik. Musik yang sarat kritik membuka ruang bagi pendengar umum untuk menyelami konteks politik dan sosial di balik liriknya; proses inilah yang kerap membangkitkan kemampuan berpikir kritis dan semangat aktivisme di kalangan pendengar.
Penulis: Muhammad Umar Ibrahim