
Di balik tembok aturan yang rapuh,
perempuan masih sering diajari diam,
suara mereka dianggap berlebihan,
mimpi mereka dipatahkan sejak dini.
Mereka berlari dua kali lebih jauh,
namun sampai di garis akhir setengah lebih lambat.
Mereka bisa memimpin dengan tenang,
tapi nama mereka jarang ditulis dalam catatan.
Seolah dunia hanya milik satu suara,
padahal keadilan tak kenal rupa.
Kesetaraan bukan belas kasihan,
melainkan hak sejak manusia pertama menarik nafas.
Dan ketika tembok itu retak,
suara-suara yang lama disimpan
akan tumbuh jadi badai,
mengguncang dunia yang pura-pura tuli.
Karena suara yang dibungkam hari ini, bisa menjadi gelombang perubahan esok hari.
Penulis: Novianti Fitri Zahra