Generasi Z di Tengah Polarisasi Politik: Melek Isu atau Mudah Terseret Tren?

Ketika sebuah isu politik viral di media sosial, timeline kita langsung dipenuhi oleh berbagai respons dari pengguna, khususnya Generasi Z. Ini juga menunjukkan bahwa kini isu politik tidak lagi hanya hidup di ruang debat formal atau layar televisi. Namun diskusi politik bisa terjadi di ponsel kita mulai dari video TikTok berdurasi satu menit, thread Twitter, hingga konten Instagram yang dikemas menarik. Generasi Z merupakan mereka yang lahir di era digital yang telah menjadi pemain utama dalam percakapan politik di media sosial. Dalam hitungan jam, hashtag bergulir, meme bermunculan, dan perdebatan sengit terjadi di kolom komentar. Ada yang mengutip data, ada yang membagikan infografis, namun tak jarang juga yang sekadar ikut ramai tanpa memahami konteks sebenarnya. Mereka menyuarakan pendapat, membuat tagar, dan mengubah isu politik menjadi tren.  Namun, di balik semangat ekspresif itu muncul pertanyaan penting apakah mereka benar-benar memahami isu yang diperjuangkan, atau hanya mengikuti arus viralitas?

Tidak dapat dipungkiri bahwa Generasi Z menunjukkan tingkat keterlibatan politik yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi sekadar menonton berita di televisi atau membaca koran, melainkan aktif mencari, mendiskusikan, dan bahkan memproduksi konten politik di platform digital. Di Indonesia sendiri, kita menyaksikan bagaimana Gen Z berperan aktif dalam berbagai momen politik. Mulai dari kampanye menolak RUU yang dianggap bermasalah, gerakan lingkungan, hingga advokasi isu-isu HAM. Mereka menggunakan thread Twitter untuk mengedukasi, Instagram Story untuk menyebarkan petisi, dan TikTok untuk membuat konten politik yang lebih accessible. Dengan adanya platform digital tersebut telah memberikan mereka megafon untuk menyuarakan aspirasi tanpa harus melalui jalur konvensional yang seringkali birokratis dan eksklusif.

Signifikansi politik Gen Z tidak bisa diabaikan. Dalam Pemilu 2024, Gen Z memiliki jumlah pemilih yang cukup besar, mencapai 46,8 juta pemilih, menjadikan mereka kekuatan elektoral yang signifikan. Menurut sensus nasional 2020, sekitar 28% dari populasi Indonesia termasuk Generasi Z, sementara milenial mencapai sekitar 26%. Selain itu berbagai survei juga menunjukkan bahwa Gen Z memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu sosial dan politik. Mereka tidak apatis, melainkan mencari cara baru untuk terlibat, cara yang sesuai dengan karakter generasi mereka yang serba digital dan cepat.

Generasi Z memiliki keunggulan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya seperti akses informasi yang hampir tanpa batas. Dalam hitungan detik, mereka bisa mengakses berbagai perspektif, membandingkan data, dan mencari sumber primer dari sebuah isu. Kemampuan ini, jika digunakan dengan baik, menjadikan mereka generasi yang potensial paling melek informasi dalam sejarah. Kepedulian Gen Z terhadap isu-isu progresif juga patut diapresiasi. Mereka vokal soal krisis iklim, kesetaraan gender, kesehatan mental, hingga hak-hak minoritas. Isu-isu yang mungkin tabu atau tidak populer di generasi sebelumnya kini mendapat perhatian serius dari Gen Z. Mereka tidak segan mempertanyakan status quo dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin.

Dengan hal ini bisa kita lihat bahwa keberanian menyuarakan pendapat adalah ciri khas Gen Z. Mereka melakukan fact-checking, membongkar hoaks, dan tidak ragu mengkritisi kebijakan yang mereka anggap keliru. Media sosial memberi mereka platform untuk menjadi citizen journalist, dan aktivis secara bersamaan. Berbagai kampanye seperti donasi untuk korban bencana, gerakan solidaritas untuk kelompok marginal, hingga inisiatif edukatif seringkali diprakarsai dan dimobilisasi oleh Gen Z melalui jaringan digital mereka. Namun, medali selalu memiliki dua sisi. Keaktifan Gen Z di media sosial juga membawa risiko tersendiri. Salah satu fenomena yang mengkhawatirkan adalah transformasi politik menjadi konten entertainment. Isu-isu serius disederhanakan menjadi meme, dan perdebatan politik berubah menjadi tontonan semata. Ketika politik diperlakukan seperti drama serial, substansi isu seringkali tenggelam di balik hiruk-pikuk viral.

Untuk memahami paradoks Gen Z ini, kita perlu melihat faktor-faktor yang membentuk perilaku politik mereka. Pertama, algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement, bukan mempromosikan kebenaran atau dialog sehat. Konten yang provokatif, emosional, dan polarisatif mendapat prioritas karena menghasilkan lebih banyak klik, komentar, dan share. Gen Z, sebagai pengguna aktif, tidak terhindar dari manipulasi algoritmik ini. Kedua, sistem pendidikan kita masih belum memadai dalam memberikan literasi politik yang komprehensif. Pendidikan kewarganegaraan seringkali bersifat normatif dan teoritis, tidak menyentuh realitas politik kontemporer atau mengajarkan critical thinking yang diperlukan untuk menavigasi lanskap informasi digital yang kompleks. Ketiga, tekanan konformitas dalam peer group digital sangat kuat. Gen Z ingin diterima oleh komunitas online mereka, dan ini menciptakan tekanan untuk mengikuti opini mayoritas dalam kelompok tersebut. Menyuarakan pandangan yang berbeda berisiko dikucilkan atau di-bully, sehingga banyak yang memilih silent atau ikut arus.

Dengan adanya faktor-faktor tersebut membantu kita melihat bahwasanya terdapat sebuah polarisasi politik di kalangan Gen Z yang bukan sekadar fenomena online yang tidak berdampak. Fragmentasi ini menciptakan jurang sosial, tidak hanya antar-generasi tetapi juga dalam Gen Z sendiri. Persahabatan rusak karena perbedaan pandangan politik, keluarga terpecah, dan masyarakat kehilangan kemampuan untuk berdialog secara konstruktif. Bahaya lain adalah potensi Gen Z dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Dengan pemahaman tentang bagaimana algoritma dan viral culture bekerja, aktor-aktor politik dapat memanipulasi sentimen Gen Z untuk agenda mereka. Disinformasi, propaganda, dan astroturfing (gerakan palsu yang dibuat terlihat organik) adalah ancaman nyata dalam ekosistem digital. Dampak jangka panjang terhadap demokrasi juga perlu dikhawatirkan. Demokrasi membutuhkan ruang untuk kompromi, dialog, dan pengakuan akan legitimasi perbedaan pendapat. Jika generasi muda tumbuh dengan mentalitas “yang tidak setuju adalah musuh”, masa depan demokrasi kita dipertaruhkan.

Lalu, apakah Gen Z melek isu atau mudah terseret tren? Jawabannya: keduanya. Gen Z bukan entitas monolitik yang bisa dikategorikan secara hitam-putih. Mereka adalah generasi dengan potensi luar biasa sekaligus kerentanan yang perlu diakui dan diatasi. Optimisme kritis adalah sikap yang tepat dalam melihat Gen Z. Kita perlu mengakui potensi mereka sebagai agen perubahan, kemampuan mereka mengakses dan memproses informasi, serta kepedulian mereka terhadap isu-isu penting. Namun, kita juga tidak boleh naif terhadap risiko dan tantangan yang mereka hadapi di lanskap digital yang penuh manipulasi.

Oleh sebab itu literasi digital dan media harus menjadi prioritas. Gen Z perlu dibekali dengan kemampuan untuk mengevaluasi sumber informasi, mengenali bias dan manipulasi, memahami cara kerja algoritma, dan berpikir kritis terhadap narasi yang mereka konsumsi. Selain itu pendidikan harus bertransformasi untuk membangun critical thinking. Yang tidak kalah penting adalah menciptakan ruang dialog yang sehat dan inklusif. Gen Z memerlukan contoh bahwa perbedaan pendapat tidak harus berakhir dengan permusuhan. Forum-forum diskusi yang moderasi dengan baik, baik online maupun offline, dapat menjadi tempat untuk belajar mendengarkan, berempati, dan memahami perspektif yang berbeda tanpa harus mengadopsinya.

Jadi, apakah Gen Z melek isu atau mudah terseret tren? Jawabannya adalah keduanya. Gen Z merupakan generasi paradox, dimana gen Z paling terhubung tapi juga paling terpolarisasi, paling berpotensi mengubah dunia tapi juga paling rentan dimanipulasi. Bagi para gen Z diluar sana gunakan kekuatan digital kalian dengan bijak. Jangan biarkan algoritma mendikte cara berpikir kalian. Politik bukan ajang konten viral, tapi tentang masa depan bersama yang butuh pemahaman mendalam dan empati. Jika kita berhasil, Gen Z bisa menjadi generasi yang tidak hanya melek isu, tapi juga bijaksana dalam berpolitik, dengan ini gen Z menjadi generasi yang tidak mudah terseret tren, tapi mampu menciptakan perubahan bermakna. Harapan itu masih ada, dan waktunya adalah sekarang.

Penulis: Hikmatul Karimah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *