Resensi Film Green Book (2018): Sebuah Perjalanan dalam Memahami Arti Kemanusiaan

Poster film Green Book (Instagram.com/greenbookmovie)

Identitas Karya:

  • Sutradara: Peter Farrelly
  • Pemeran Utama: Viggo Mortensen (Tony Lip), Mahershala Ali (Dr. Don Shirley)
  • Genre: Biografi, Drama, Komedi, Persahabatan, Petualangan.
  • Durasi: 2 jam 10 menit

Tentang Film Ini

Film ini mengangkat tema rasisme, persahabatan, hingga identitas sosial yang dibalut dengan kehangatan komedi. Film Green Book ini merupakan pemenang Oscar kategori Best Picture pada tahun 2019, film ini bukan sekadar film sejarah atau biografi, namun jika ditelititi lebih dalam terdapat studi karakter tentang dua manusia yang terjebak dalam stereotip rasial masing-masing, dan bagaimana kondisi Amerika Serikat tahun 1960-an, khususnya wilayah-wilayah Amerika Serikat Selatan, tempat dimana diskriminasi terhadap warga kulit hitam masih dilegalkan kala itu.

Sinopsis Singkat

Film ini berlatar tahun 1962, cerita berpusat pada Tony Lip, seorang penjaga klub malam keturunan Italia-Amerika yang kasar, tidak berpendidikan, dan memiliki prasangka rasial yang kuat. Ketika kehilangan pekerjaan, Tony menerima tawaran menjadi sopir pribadi bagi Dr. Don Shirley, seorang pianis klasik berkulit hitam yang hidup bak bangsawan di atas Carnegie Hall.

Tugas Tony sederhana namun berisiko: mengantar Dr. Shirley dalam tur konser ke wilayah Deep South yang terkenal rasis kala itu, dimana tempat hukum Jim Crow yang rasis masih berlaku keras. Berbekal “The Negro Motorist Green Book”, yaitu sebuah buku panduan bagi warga kulit hitam agar tahu di mana mereka bisa makan, tidur, dan berhenti dengan aman. Tony dan Dr. Shirley memulai perjalanan yang diawali gesekan, tawa, dan mehamai lluka sosial satu sama lain yang nyata.

Film ini tidak hanya merekam sebuah perjalanan, tapi juga bagaimana interaksi selama perjalanan diantara kedua manusia ini dalam memahami kemanusiaan di tengah sistem yang memisahkan manusia berdasarkan warna kulit.

Analisis Karakter Utama dan Chemistry dalam Film Green Book

Kekuatan utama film ini terletak pada chemistry luar biasa antara Viggo Mortensen yang memerankan Tony Lip dan Mahershala Ali yang memerankan Dr. Shirley.

  • Tony Lip: Digambarkan sebagai pria yang kasar, tidak berpendidikan, Ia mewakili gambaran umum warga kulit putih kelas pekerja pada era itu. Ia bukam sepramh pria yang jahat, tapi terbiasa dengan sistem sosial yang rasis. Tony awalnya juga mempunyai pandangan rasis terhadap kulit hitam, termasuk terhadap Dr. Shirley, namun perlahan karakter Tony berubah dari yang awalnya seorang rasis garis keras lalu berubah perlahan-lahan menjadi menolak diskriminasi. Simpati yang terbentuk secara perlahan karena melihat penderitaan yang dialami oleh Shirley selama perjalanan tur pianis tersebut membentuk karakter Tony yang baru menjadi ‘core’ tersendiri dari film ini.
  • Dr. Don Shirley (Mahershala Ali): Sebaliknya, Shirley adalah representasi kompleks dari dilema identitas kulit hitam terdidik. Di balik postur elegan dan tutur kata yang halus, ia menanggung kesepian yang lahir dari penolakan dua dunia, ia tidak diterima sepenuhnya oleh komunitas kulit hitam maupun putih. Adegan di mana ia berteriak di tengah hujan, “Jika aku tidak cukup hitam, tidak cukup putih, dan tidak cukup jantan, lalu siapa aku?” cukup menggambarkan pergulatan batin seorang pria yang terus mencari tempatnya dalam dunia yang dipenuhi rasis.

Dinamika paradoks sifat yang sangat berbeda diantara keduanya seperti air dan minyak, akan tetapi justru di situlah daya tarik film ini. Tony mengajarkan Shirley bagaimana cara menikmati dunia yang lebih santai, sementara Shirley mengajarkan Tony arti martabat di tengah penghinaan. Persahabatan keduanya kemudian menjadi bentuk kecil dari perlawanan terhadap struktur sosial yang memisahkan manusia hanya karena warna kulit.

Tema: Lebih dari Sekadar Rasisme

Meskipun isu rasisme menjadi latar utama yang diangkat, Green Book sesungguhnya berbicara tentang identitas, kesepian, dan kemanusiaan.

Film ini sebenarnya juga menyingkap paradoks sosial Amerika: seorang pianis jenius bisa memainkan musik di gedung megah untuk penonton kulit putih kaya, namun dilarang menggunakan toilet yang sama dengan mereka. Di film ini, terdapat buku Green Book yang merupakan buku berfungsi sebagai simbol konkret dari keterpisahan sosial, buku ini merupakan panduan yang seolah melindungi orang kulit hitam, tapi juga mengingatkan bahwa dunia tidak adil bagi sebagian manusia.

Menariknya, sutradara Peter Farrelly tidak menyajikan rasisme dengan kekerasan eksplisit, melainkan melalui interaksi sehari-hari yang halus tapi menyakitkan: tatapan dingin di restoran, kebijakan diskriminatif hotel, hingga percakapan ringan yang sarat bias. Semua itu membangun kritik yang lembut namun tajam tentang bagaimana sistem sosial dapat membentuk perilaku dan prasangka individu.

Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan:

  1. Naskah yang Hangat dan Manusiawi: Dialognya natural, lucu, dan mengandung kritik sosial yang tajam tanpa terasa menggurui.
  2. Akting Kelas Dunia: Mahershala Ali menghadirkan karakter yang kompleks dan berlapis. Ekspresinya yang menahan amarah dan kesedihan berbicara lebih keras daripada kata-kata.
  3. Sinematografi Bernuansa: Warna hangat dan tata kamera yang lembut menangkap keindahan lanskap Selatan Amerika sekaligus atmosfer ketegangan sosialnya,hal ini berhasil membawa penonton seakan kembali ke masa tersebut. 

Kekurangan:

  1. Kritik “White Savior”: Beberapa kritikus menilai film ini terjebak dalam trope di mana karakter kulit hitam tampak “terselamatkan” oleh tokoh kulit putih, meski sebenarnya film berusaha menampilkan hubungan dua arah.
  2. Simplifikasi Sejarah: Pendekatan ringan dan humoris yang dilakukan di film ini tterkesan membuat isu rasisme tidak menggambarkan daripada kenyataan brutalnya di era segregasi tersebut. Namun, hal ini juga yang membuat film ini mudah dijangkau oleh penonton luas.

Kesimpulan

Green Book adalah film yang menghangatkan hati sekaligus menggelitik nurani. Ia tidak hanya menampilkan perjalanan dua manusia yang berbeda, tetapi juga menyingkap luka lama bangsa Amerika: bagaimana rasisme dapat menyusup hingga ke ruang paling pribadi dalam kehidupan sehari-hari.

Latar belakang sejarah hukum Jim Crow di film ini bukan sekadar dekorasi, melainkan refleksi atas ketimpangan sosial yang nyata yang ada di Amerika Serikat kala itu. Lewat perjalanan Tony dan Shirley, penonton diajak menyadari bahwa perubahan sosial sering kali bermula dari hubungan antarmanusia yang tulus, bukan dari penyebaran ideologi, tapi dari keberanian untuk mencoba memahami dan menghargai perbedaan yang ada.

Pesan akhirnya sederhana namun universal, seringkali prasangka lahir dari ketidaktahuan, dan obatnya adalah empati yang didapat dari interaksi. Pada akhirnya, film Green Book mengingatkan kita bahwa di tengah dunia yang terbelah oleh warna kulit, bahasa musik dan kemanusiaan tetap bisa menjadi bahasa universal yang menjembatani perbedaan.

Penulis: Muhammad Ilham

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *