Ilusi Swasembada dan Ketidakpastian Nasib Petani Tebu

Source: Medcom.id

Secara ideal, hasil tebu seharusnya menjadi sumber kekuatan bagi para petani. Mereka sudah menghadapi harga tinggi untuk benih, pupuk, dan lahan pemeliharaan yang tidak sedikit, bahkan seringkali menguras tabungan keluarga. Namun, kenyataan di Pasuruan dijelaskan secara berbeda. Sekitar 5.466 ton gula saat ini menumpuk di Gudang Pabrik Gula Kedawung tanpa penjualan, sementara petani menunggu hasil panen mereka dijual dengan harga yang layak. Situasi ini hanya menimbulkan kesulitan bagi petani untuk menutup modal yang telah mereka keluarkan, kemungkinan gagal panen kembali pada musim tanam berikutnya. hal  yang menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam tata kelola gula nasional, yang memerlukan perhatian semua pihak.

Salah satu penyebab kondisi ini adalah distribusi yang tidak berjalan efektif dan merata. Gula lokal cenderung kalah cepat bersaing dengan gula impor yang lebih mudah masuk ke pasar modern. Akibatnya, produksi petani hanya tersimpan di gudang tanpa kepastian pembeli, sehingga petani menghadapi risiko kehilangan modal yang besar. Situasi ini jelas merugikan menghambat arus keuangan petani dan mempersulit mereka memenuhi kebutuhan hidup serta membayar biaya produksi.

Faktor lain yang memperparah keadaan tersebut ialah kebijakan impor yang longgar. Ketika stok dalam negeri sebenarnya cukup, impor masih tetap berjalan tanpa mempertimbangkan dampak pada harga lokal dan kemampuan penyerapan pasar domestik. Kondisi ini menciptakan persaingan yang tidak sehat antara gula impor dan gula produksi petani lokal. Harga gula lokal pun menjadi lebih rendah dari biaya produksinya, sehingga petani harus menerima kerugian karena biaya produksi tidak sebanding dengan pendapatan. Akibatnya, semangat mereka untuk menanam tebu menurun, karena risiko finansial terlalu tinggi dibandingkan potensi keuntungan yang diperoleh.

Di sisi lain, dukungan pemerintah daerah masih belum terlihat maksimal. Petani seakan dibiarkan menghadapi pasar yang timpang sendirian. Padahal, pemerintah daerah bisa berperan lebih besar, misalnya dengan memfasilitasi distribusi, membuka akses pasar baru, atau melakukan penyerapan gula melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun koperasi.

Jika masalah ini terus berlanjut, dampaknya sangat mengkhawatirkan. Petani akan motivasi dan modal untuk menanam kembali. Lahan tebu berpotensi beralih fungsi dan produksi gula nasional akan merosot drastis. Pada akhirnya, Indonesia semakin bergantung pada impor. Ketika harga global naik atau pasokan terhambat, masyarakat luas akan terkena imbas berupa kenaikan harga gula di pasar domestik.

Sebaliknya, bila langkah cepat diambil, ada peluang besar untuk membalikkan keadaan. Dengan memperbaiki jalur distribusi, membatasi impor sesuai kebutuhan, dan memastikan harga beli yang adil, petani dapat kembali bersemangat. Selain itu, ketahanan pangan akan lebih terjaga karena pasokan gula dalam negeri cukup stabil. Langkah-langkah tersebut juga akan meningkatkan kepercayaan petani terhadap pemerintah, bahwa kerja keras mereka tidak berakhir sia-sia dan masa pertanian tebu masih layak diperjuangkan.

Pengalaman dari negara lain dapat menjadi bahan pelajaran. Thailand, misalnya yang berhasil menjaga stabilitas harga gula melalui subsidi kepada petani sekaligus mnedorong diversifikasi produk berbasis tebu, termasuk bioetanol (rujuk dari U.S. Sugar Alliance, 2015). Model ini membuat petani tidak hanya bergantung pada satu produk sehingga pasar lebih luas dan risiko penumpukan berkurang. Hal serupa dapat diterapkan di Indonesia dengan menyesuaikan kondisi lokal. Bila pabrik gula dalam negeri mau berinovasi, mungkin tebu bisa menghasilkan berbagai produk turunan yang bernilai tinggi, dari gula cair hingga energi alternatif biomassa dari tebu.

Di Indonesia sendiri, beberapa daerah telah mencoba melakukan inovasi. Seperti produksi gula semut yang mulai berkembang di Jawa Tengah dan mendapat pasar hingga ke luar negeri, ada juga pabrik gula di Jawa Timur yang mulai mengembangkan bioetanol skala kecil dari limbah tebu. Inisiatif seperti ini membuktikan bahwa petani bisa mendapatkan peluang baru jika rantai industri memberi ruang untuk diversifikasi. Pasuruan dapat menjadikan Langkah-langkah tersebut sebagai inspirasi untuk mengurangi ketergantungan pada gula kristal putih dan membuka peluang ekonomi baru.

Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa inti persoalan sesungguhnya bukan hanya sekadar soal stok gula yang menumpuk, melainkan keberpihakan kewajiban. Tanpa intervensi nyata, petani akan terus kalah menghadapi tekanan pasar global. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan industri masyarakat. Pemerintah dapat menciptakan aturan yang melindungi petani, industri bisa membuka ruang diversifikasi, sedangkan masyarakat memberi dukungan melalui konsumsi produk lokal. Kalangan akademisi maupun organisasi masyarakat sipil juga bisa memberikan kontribusi dengan riset, advokasi, dan pendampingan langsung di lapangan.

Jeritan petani tebu di Pasuruan merupakan peringatan keras bagi kita semua. Jika hari ini para petani tidak mendapat kepastian, maka dalam musim tanam waktu dekat ini mereka bisa berhenti menanam. Bila itu terjadi, bukan hanya petani yang merugi, tetapi juga seluruh masyarakat karena kehilangan salah satu komoditas pangan strategis. Sebaliknya, jika semua pihak mau mengambil tanggung jawab, makan masalah ini bisa berubah menjadi momentum perbaikan tata kelola gula nasional. Dengan begitu jeritan petani bukan lagi soal siapa yang bersalah, tetapi menjadi pemicu perubahan untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan manusiawi.

Penulis: Ainur Rokhimah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *