11.8 C
New York
Tuesday, March 25, 2025

Buy now

spot_img

UKT setinggi langit, mahasiswa baru tercekik. Pernyataan Kemendikbud menuai polemik.

Perseteruan mengenai kenaikan UKT berawal dari aliansi BEM SI yang beranggotakan 18 perwakilan dari Universitas Mataram, universitas Soedirman, Universitas Diponegoro, Universitas Yogyakarta, institut teknologi PLN, Universitas negeri Jakarta, Universitas Riau, Universitas Bengkulu dan Universitas sebelas Maret. Aksi tersebut dimulai pada kamis 16 Mei 2024 melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan komisi X DPR RI mengenai uang kuliah tunggal atau UKT mahal yang dikeluhkan oleh mahasiswa. Menurut Herianto selaku koordinator pusat badan aliansi BEM SI dalam Tempo.co mengatakan bahwa pihaknya bakal mengeskalasikan gerakan di jalanan jika tidak ada itikad baik dari hasil audiensi hari ini. “Maka dari itu kami dari aliansi BEM SI akan terus mengawal sampai tuntas”.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan bahwa “Kemendikbudristek harus mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola kebijakan pembiayaan UKT” ia menegaskan bahwa anak bangsa harus mendapatkan pendidikan yang mumpuni tanpa memandang finansial gaji orang tua.

Akan tetapi pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan aksi yang dilakukan oleh Kemendikbudristek mengenai pernyataan yang di katakan oleh Tjitjik Sri Tjahjandarie “pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier tergantung pilihan dari masing-masing individu. Pendidikan yang wajib adalah SD hingga SMA.” Maka dari itu biaya pendidikan tinggi tidak di prioritaskan oleh pemerintah.

Secara umum UKT merupakan biaya yang harus dibayar oleh mahasiswa setiap semester atau 6 bulan sekali. Tujuan UKT di berikan ialah untuk membantu serta meringankan biaya mahasiswa. Sesuai dengan apa yang di katakan dalam buku “analisis kebijakan pendidikan” yang di tulis oleh Jejen Musfah, UKT menurut nya ialah biaya kuliah tunggal yang di kurangi oleh bantuan operasional PTN (BOPTN). Hal ini sejalan dengan aturan dari Permendikbud Nomor 55 tahun 2013 dan di revisi menjadi Permenristekdikti Nomor 22 tahun 2015 mengenai biaya kuliah tunggal dan uang kuliah tunggal pada perguruan negeri yang ada pada lingkungan Kemenristekdikti. Dalam aturan tersebut sudah ada pengelompokan biaya UKT sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa yang akan di atur oleh universitas.

Meskipun dalam pembiayaan operasional dalam proses pembelajaran hingga skripsi memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit. Pemerintah khususnya Kemendikbudristek tidak dapat menjadikan hal ini sebagai alasan untuk mengurangi pembiayaan pendidikan tingkat tinggi. Pernyataan Tjitjik Sri Tjahjandarie mengenai pendidikan tinggi merupakan suatu kebutuhan tersier. Hal ini salah besar seorang yang berkerja pada bidang pendidikan sebagai dosen tidak pantas mengatakan hal ini dengan gamblang di depan media, apalagi di tengah polemik pergulatan UKT ini. Hal tersebut Tidak sebanding dengan kebutuhan etos kerja yang ada di Indonesia dimana hampir sebagian besar syarat minimal melamar kerja di Indonesia ialah lulusan pendidikan Sarjana satu (S1). Di tambah mereka yang berkerja di bidang pendidikan apakah tidak memerlukan pendidikan yang tinggi?, apakah pendidikan tinggi masih menjadi hal yang tersier yang dapat menjadi pilihan? Apalagi di Indonesia yang mampu mengenyam pendidikan tinggi hanya 6,41% dari 275,36 juta jiwa, Menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Jika di bandingkan dengan data negara maju lainnya Indonesia masih sangat rendah.

Bagaimana SDM Indonesia bisa berkembang Jika kebijakan pembiayaan UKT masih berbelit-belit seperti ini?. Pemerintahan seolah menyepelekan hak masyarakat menengah kebawah yang ingin berpendidikan tinggi. Pemerintah harusnya lebih mawas kepada masyarakat menengah ke bawah untuk bangkit dari keterpurukan pendidikan. Pernyataan kejam dari Tjitjik Sri Tjahjandarie selaku sekjen Kemendikbudristek harusnya di pertanggungjawaban adanya, jika memang pendidikan tinggi itu suatu kebutuhan tersier lantas apa yang di berikan pemerintah untuk menunjang pengembangan SDM. Apa solusi terbaik terkait syarat-syarat etos kerja yang terkadang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat. Kemendikbud seolah lepas tangan terkait solusi dari permasalahan yang ada, mau di bawa kemana akhir dari perseteruan ini?

Oleh : Siti Aldira Rachma

Previous articlePeneduh Segala Keluh
Next articleMUNGKIN

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles