
Sepucuk surat bersampul tapi pita hitam kertas kusam yang diambil dari sekretariat
Besar harapan tangan lentik itu yang membukanya
Mata indah bola pingpong yang akan melihatnya
Salam demi salam teruntai tanpa tahu dimana dia akan berhenti
Dan ditutup dengan salam menggebu keras terdengar dari tinta yang ditekan keras
“SALAM MAHASISWA”
Selamat pagi, selamat siang, selamat malam.
Tergantung kapan kau membukanya Nimas
Belum satu purnama sejak kulihat wajah indahmu
Tapi serasa 3 kali berganti penguasa
Terasa lama sekali semenjak kedua tanganmu
Memberkati tubuh lelahku
Mengobati setiap jengkal dan petaknya
Tapi sayang, akhir-akhir ini
Yang berani menyentuh tubuhku dan setiap jengkalnya
Hanya pentungan yang dilempar sekenanya
Entah oleh Bintara atau tamtama
Tak usah khawatir Nimas,
Tidak ada lagi yang berani menyentuhku dengan mesra, mungkin cuma semburan air dari watercannon yang katanya menertibkan yang katanya mengamankan
Tak usah khawatir Nimas
Tidak ada lagi cinta, kasih sayang yang kuhirup
Selain darimu, dan mungkin gas air mata yang sudah kadaluwarsa lima tahun yang lalu
Sekali lagi, tak usah khawatir Nimas
Tak ada orang lain yang kuberi perlakuan istimewa selain engkau
Mungkin cuma polisi huru-hara yang kulempari beton rapuh pinggir jalan gajah mada
Maafkan aku Nimas kalau lama kita tidak bersua
Maksud hati ingin bersama, tapi kesempatan tak kunjung datang, perjuangan tak pernah padam
Mungkin suatu hari nanti, akan datang hari kita bisa berjumpa, menunggu padamnya ketidakadilan dan hilangnya kesewenang-wenangan
Nimas, Ingin sekali aku berkata “Ingin kumiliki setiap jiwa dan ragamu, setiap jengkal senyummu, sehasta kasihmu, dan pelan seru nafasmu”,
Tapi sayang buku orang tua yang kubaca, menentang hak kepemilikan pribadi
“Ingin kutemuimu setiap hari, tapi apa guna memadu kasih jika akhirnya menderitanya di tanah sendiri”
Nimas, selama pungguk masih merindukan bulan
Selama seluruh curah kasihku hanya untukmu
Jangan hentikan perjuangan suciku
Sebab meski kau hentikan sekalipun
Perjuangan takkan pernah mati
Penulis: M. Oemar Ibrahim