
Ilustrasi Kekerasan Seksual. Sumber: Jawapos.com
Pemerintah Indonesia tengah bersiap meluncurkan “Buku Babon” yakni Sejarah Nasional Indonesia sebagai bagian dari peringatan HUT RI ke-80 pada Agustus mendatang. Buku ini akan menjadi rujukan resmi sejarah untuk sekolah-sekolah, menggantikan edisi sebelumnya yang dinilai sudah usang. Proyek besar ini melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari sejarah, arkeologi, geografi, hingga humaniora.
Namun alih-alih disambut sebagai kemajuan, proyek penulisan ulang sejarah ini justru menuai badai kritik. Sejumlah sejarawan, arkeolog, hingga aktivis HAM menilai bahwa revisi sejarah nasional terlalu Indonesia-sentris, elitis, dan rawan mengancam menghapus sejarah kelam bangsa demi menyusun ulang narasi yang sesuai kepentingan kekuasaan. Terutama tragedi kemanusiaan Mei 1998, melibatkan kekerasan seksual sistematis terhadap perempuan Tionghoa yang menyisakan luka mendalam
Polemik penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia memuncak saat Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?” ucap Fadli Zon dalam wawancara yang ditayangkan di siaran YouTube media IDN Time pada Rabu, 11 Juni 2025.
Menteri Kebudayaan RI itu juga menuturkan bahwa dirinya pernah menguji para sejarawan dengan mengatakan bahwa peristiwa tersebut telah diakui oleh tim pencari fakta. “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka (penulis ulang sejarah) tidak bisa buktikan,” ungkap Fadli.
Pernyataan tersebut langsung menuai kecaman. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi terhadap masyarakat Indonesia dan meremehkan kekerasan atas perempuan. Hal ini semakin menimbulkan kekhawatiran mengenai penghapusan sejarah menguat.
Luka yang Diingkari, Kebenaran yang Ditinggalkan
Tragedi Mei 1998 bukan sekadar catatan kelam, melainkan luka terbuka dalam sejarah bangsa. Dalam laporan yang disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa. Fakta ini menjadi dasar pendirian Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181 Tahun 1998, sebagaimana dilaporkan oleh Detik.com dan dikonfirmasi pula oleh BBC Indonesia dalam liputan retrospektifnya.
Namun Fadli Zon, dalam klarifikasinya yang dikutip oleh Bloomberg Technoz pada 16 Juni 2025, meragukan hal tersebut. Ia menyebut istilah “pemerkosaan massal” sebagai “rumor” yang tidak memiliki bukti kuat. Ia menilai istilah dan angka yang digunakan belum teruji secara hukum dan akademik. Menurutnya, laporan TGPF tidak memuat data-data rinci seperti nama korban, lokasi kejadian, atau identitas pelaku.
Klarifikasi itu justru memperkuat kemarahan publik. Para penyintas yang selama ini berjuang dalam diam, memikul trauma dan stigma, merasa disingkirkan kembali oleh negara. Komnas Perempuan dalam pernyataan resminya menilai sikap Fadli sebagai tindakan yang “memperpanjang impunitas”, dan mencederai upaya rekonsiliasi yang telah lama diperjuangkan, sebagaimana dilaporkan oleh Detik.com dan ditegaskan kembali dalam laporan BBC Indonesia yang mengangkat suara keluarga korban.
Komnas HAM turut angkat bicara. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, dalam keterangan resminya menyebut bahwa kerusuhan 13–15 Mei 1998 telah diselidiki oleh Tim Ad Hoc yang dibentuk lembaganya pada Maret 2023. Penyelidikan itu menyimpulkan bahwa tragedi tersebut merupakan pelanggaran HAM berat yang mencakup pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, serta kekerasan seksual. Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kepada Tempo.co menegaskan bahwa Fadli tidak memiliki kapasitas akademik maupun kewenangan resmi untuk menyimpulkan ada atau tidaknya pemerkosaan massal.
Anggota Komisi XIII DPR, Yasonna Laoly, menyampaikan peringatan keras terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti atas pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Ia menegaskan bahwa peristiwa tersebut telah diakui secara resmi oleh negara, dan bahkan Presiden ketiga RI, BJ Habibie, pernah menyampaikan sikap tegasnya terkait kekerasan seksual terhadap perempuan saat itu.
“Pidato kenegaraan Habibie terkait kerusuhan massal dan pemerkosaan massal,” ujar Yasonna sambil menunjukkan cuplikan pidato BJ Habibie kepada wartawan (16/6/2025).
Yasonna juga menekankan bahwa revisi Sejarah Nasional Indonesia harus dilakukan secara hati-hati. Ia mengingatkan bahwa banyak saksi hidup masih menyimpan kenangan jelas atas tragedi tersebut, sehingga tidak semestinya sejarah ditulis ulang dengan sembrono atau tanpa pertimbangan mendalam.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, juga mengkritik bahwa pernyataan tersebut menyakitkan dan tidak pantas. “Tragedi pemerkosaan saat Mei 1998 itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jadi saya kira siapa pun yang menyebut nggak ada tragedi perkosaan itu tentu sangat tidak pantas dan berpotensi menghapus jejak sejarah kekerasan seksual yang telah diakui secara luas, baik oleh Komnas Perempuan maupun berbagai lembaga independen nasional dan internasional,” ucap Nihayatul kepada wartawan (17/6/2025).
Nihayatul menambahkan, bahwa tragedi Mei 1998 merupakan peristiwa berdarah yang tidak hanya menewaskan banyak warga sipil. Akan tetapi, juga menyisakan luka mendalam bagi perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Apabila tragedi ini dihapus dari sejarah, hal ini akan berimbas kepada para perempuan yang lain di masa depan.
Revisi Sejarah atau Penghapusan Sejarah?
Pernyataan Fadli Zon terjadi bersamaan dengan proses penulisan ulang sejarah nasional yang sejak awal menuai polemik. Arkeolog senior Truman Simanjuntak mengundurkan diri dari tim penyusun buku sejarah karena menolak perubahan istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal”. Dalam wawancaranya dengan Tempo.co, dirinya menilai istilah baru tersebut mengaburkan identitas ilmu arkeologi dan melemahkan keilmiahan historiografi nasional.
Sejarawan dari Papua, Albert Rumbekwan, juga menyuarakan kritik terkait minimnya representasi sejarah Papua. Dalam keterangannya kepada Detik.com, ia menyebut bahwa sejarah Papua hanya disinggung dalam konteks integrasi politik seperti Trikora dan 1963, padahal sejarah wilayah tersebut jauh lebih panjang dan kompleks.
Sementara itu, Mohammad Refi Omar Ar Razy dari Universitas Negeri Surabaya, dalam wawancara dengan Detik.com, menilai bahwa narasi dalam buku sejarah baru masih terlalu elitis dan berpusat pada kekuasaan serta tokoh pahlawan. Ia menyayangkan absennya peran perempuan dan kelompok pinggiran yang turut membentuk sejarah bangsa. “Narasi sejarah seperti ini rentan dijadikan alat legitimasi politik,” ungkapnya.
Narasi yang Diperebutkan
Revisi sejarah bukan sekadar proyek akademik, ia adalah perebutan narasi antara penguasa dan rakyat. Saat sejarah disusun ulang oleh elit birokrasi, yang dipertaruhkan bukan hanya isi buku pelajaran, tetapi juga memori kolektif bangsa.
Ketika seorang menteri menyebut kekerasan seksual sebagai “rumor tanpa bukti”, maka ia tak hanya menghapus catatan sejarah, tetapi juga mengkhianati keadilan bagi korban. Dan ketika sejarah digadaikan demi kekuasaan, maka bangsa ini bukan hanya melupakan masa lalu, tetapi juga menghancurkan masa depannya. Inilah alarm bahaya bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang siapa yang berhak bicara, siapa yang disingkirkan, dan siapa yang selamanya akan dilupakan.
Meski Ketua Tim Penyusun Susanto Zuhdi menampik intervensi pemerintah dan menyebut penyusunan dilakukan secara objektif, publik belum sepenuhnya yakin. Ketika luka sejarah coba direvisi atau dinegasikan, maka muncul pertanyaan mendasar: sejarah versi siapa yang akan kita wariskan?
Apabila yang berkuasa hari ini bisa dengan mudah membantah sejarah kelam tanpa tanggung jawab moral dan hukum, maka sejarah kita tak lagi berpijak pada kebenaran, melainkan pada kekuasaan belaka. Dan di titik itulah, bangsa ini kehilangan cerminnya.
Penulis: Nisrina Tias