
Ilustrasi, Sumber:Pinterest
Veve namanya namun orang disekitarnya akrab memanggilnya dengan nama vei. Kala itu ia berusia 6 tahun yang seharusnya merasakan hari-hari dengan ceria yang penuh warna namun saat menginjak usia itu harinya dipenuhi dengan warna abu-abu karena suatu trauma berat datang menyelimutinya. Sejak saat itu pula ia menjalani kehidupan dengan perasaan sepi karena tanpa disadari ternyata ia dipaksa dewasa sebelum waktunya dan menyimpan sesuatu yang tak seharusnya disimpan oleh anak seusianya. Meski demikian, beruntungnya, vei berasal dari keluarga yang dapat di katakan cukup dalam aspek finansial. Di sisi lain, vei memiliki kakak laki-laki yang cukup sulit menujukkan rasa sayangnya kepada adik kecilnya itu. Kakak pahad ia memanggilnya, namun meski kasih sayang tidak ia tunjukan secara langsung, nyatanya dia sangat menyayangi vei, kak pahad beralasan tidak memanjakanku sejak kecil agar vei dapat tumbuh menjadi anak yang tidak ketergantungan pada siapapa pun.
Ayah vei bekerja sebagai seorang supir ambulance di Jeddah Saudi Arabia, baba vei memanggilnya. Pekerjaanya menuntutnya untuk pulang ke kampung halaman setahun atau dua tahun sekali saja ke kampung halaman di Madura. Umi vei bekerja sebagai IRT yang sangat telaten mengurus buah hatinyna, ia mendidik vei dengan sangat disiplin hingga vei merasa bagaikan anak strict parent yang susah sekali diberi izin bermain dengan teman-teman. Setiap hari vei menghabiskan waktu hanya di sekolah, setelah pulang sekolah ia hanya dirumah untuk sekadar bermain dengan semua mainan masa kecil. Seorang vei yang mempunyai kepribadian ektrovert di paksa untuk tetap bermain sendiri, padahal sebenarnya ia senang sekali jika dapat berinteraksi dengan banyak orang. Hal tersebut harus pupus begitu saja karena vei selalu di paksa untuk selalu berdiam diri dalam rumah.
Terdapat tragedi besar dalam hidup veve, yaitu pada hari Ahad sebagai hari dimana tragedi itu bermula menyelimuti keluarganya. saat itu hari ke-10 baba dirumah setelah sekian lama tidak pulang dari Arab. Di pagi hari yang cerah sekali, saat itu vei bersenda gurau dengan babanya karena sangat merindukan seorang baba. Kala itu senyumnya sangat lebar dan ia tertawa sangat lepas karena babanya karena setelah sekian lama ia dapat bertemu dengan sosok yang sangat ia rindukan. Saat asyik bersenda gurau dengan baba, vei menyaksikan langsung perdebatan antara ibu dan ayahnya. “ini uang belanjamu “ujar ayah vei, namun dengan santainya ibuku menolak seraya terus berjalan ke arah kamar sambil berkata” Aku gamau uang itu, itu uangmu dengan istri barumu “. Kala itu vei merasa bingung, tetapi vei tidak mengerti apa yang telah ibunya katakan. Beberapa saat setelah ibunya berkata demikian, babah yang awalnya duduk dengan vei dengan sigap kemudian berdiri menghampiri ummi vei di kamar. kemudian apa yang terjadi selanjutnya? Babah vei menampar umminya, lalu dihadapan vei suara tamparan itu sangat terdengar jelas oleh telinga vei yang membuat seiisi kepalanya berisik entah apa yang sedang dipikirkan saat itu. Tak lama berselang, vei terdiam di ruang tamu, ia kemudian bergegas ke kamar umminya lantas kemudian vei mencegah babanya yang hendak menampar ummi untuk kedua kalinya. Meski telah berupaya, usaha vei sia-sia karena badannya kedmudian terlempar begitu saja kearah cermin lemari yang membuat luka dan cedera ringan pada tanganya. Hal yang membuat rasa tangisku tidak mampu di bendung lagi dan akhirnya pecah adalah, aku terus menangis sambil mengatakan “pukul aku saja baba, jangan pukul ummi” ujar vei. namun baba tidak mendengarkan perkataan vei hingga akhirnya ia langsung keluar rumah dan menutup pintu rumah dengan keras. Setelah kejadian itu, vei langsung memeluk umminya dan disitulah trauma berat bermula dan rasa untuk membenci babanya mulai tumbuh.
Pertengkaran itu membuat baba vei sangat tidak perhatian kepada umminya, vei sering melihat baba mengabaikan umminya ketika ingin berbicara. Hal yang membuat vei semakin bingung adalah ia sering sekali melihat babanya sedang menelfon seseorang ditengah malam tanpa ia ketahui siapa dibalik telefon itu. Tak lama kemudian, berangkat dari rasa penasaran itu vei dengan nekat membuka handphone baba dan betul sekali dugaanya, baba sering sekali bertukar kabar dengan seorang wanita lain yang tidak ia ketahui sama sekali siapa wanita itu. Sejak saat itu kepalanya sangat berisik dan dipenuhi dengan rasa kebencian yang besar dan selalu berfikir kepada siapa ia dapat percaya sedangkan cinta pertamanya saja membohonginya.
Begitulah kira-kira hal yang sering terjadi dirumah vei, sejak pertengkaran itu hingga akhirnya baba kembali ke Jeddah untuk bekerja kembali dan tersisa vei dengan umminya saja karena pada saat itu kakak vei sedang menempuh pendidikannya di pesantren. Dari tragedi itu, vei selalu menjadi tempat pelampiasan emosi umminya yang tak pernah selesai. Namun vei selalu memilih untuk diam dan menangis dipojokan sambil memeluk lututnya, karena ia tau jika membantah amarah ummi ia akan dipukul. Saat itu vei tidak mengerti bagaimana caranya memadamkan amarah ummi dan mengembalikkan kebahagiaan ummi. Untuk membahagiakan uminya, vei selalu berupaya untuk menjadi anak yang rajin dan tidak pernah bolos sekolah. Vei merasa bahwa perubahan emosi umminya disebabkan oleh apa yang babanya lakukan. Sejak saat itu, ketika berkomunikasi di telefon vei tidak mau berbicara lama.
12 tahun sudah berlalu dengan kehidupan yang sangat kelam sekali rasanya, vei lantas tumbuh sebagai anak yang keras kepala dan selalu menonjolkan sifat emosional dan sering sekali menangis tanpa sebab. Masa-masa itu ia lalui hingga akhirnya suatu hari yang membuat senyumnya kembali meski hanya sementara yaitu ketika vei diberangkatkan umroh oleh babanya saat ia berusia 17 tahun dan masih menduduki bangku kelas 2 SMA. Kesempatan ini merupakan kejutan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selalin melakukan ibadah umroh, di Arab ia juga mengunjungi rumah babanya di Jeddah. Hal yang mengejutkan vei adalah ternyata rasa penasaran yang ia miliki sejak dulu ternyata benar. Saat itu semuanya terbongkar, dimana wanita yang seringkali di telfon oleh babanya dulu yaitu istri keduanya yaitu mama tiri vei. Saat mengetahui babanya sudah menikah lagi vei semakin terpukul, perasaan memilukan lainya adalah saat ia tahu kenyataan lain yaitu babanya sudah mempunyai anak. Saat itu babanya berkata“nak, kamu bersikap biasa aja ya itu mama tirimu “vei langsung berfikir kenapa baba sangat menjaga perasaan mama tiri? apa dia tidak pernah berfikir untuk menjaga perasaan umi yang bertahun-tahun diselimuti dengan kehidupan yang kelam dan kesedihan.
Kejadian itu menyisakan trauma berat dihati vei, banyak sekali pertanyaan yang menghantuin pikirannya, saat di rumah itu vei tetap memilih biasa aja dihadapan mama tirinya. Di rumah itu, mama tiri vei memperlakukan vei sangat baik selayaknya anaknya sendiri. sampai akhirnya saat vei ingin balik ke Indonesia mama tirinya masih memberikan uang kepada vei sebesar 2 juta untuk ongkos aku balik ke Indonesia. Meski demikian, vei tetap tidak ada rasa luluh kepada mama tirinya itu dan jutsru muncul rasa benci yang tak terbendung.
Setelah vei kembali ke Indonesia, vei bercerita kepada kakaknya tentang apa yang terjadi ketika ia dirumah baba. Kakak vei berusaha menasehati untuk mengikhlaskan baba hidup dengan wanita lain. Kakak vei selalu membujuk vei untuk selalu menerimanya. Vei masih belum mampu merima kenyataan itu, namun seiring dengan berjalanya waktu vei mulai menerima kenyataan pahit itu. Hingga akhirnya ia juga mulai terbiasa dengan semua pelampiasan amarah umminya dan ia memhami kondisi umminya itu. Kini vei sudah mulai dewasa dan sifat ektrovertnya yang dulunya pernah pupus karena tragedi yang membuat ia trauma berat akhirnya bisa dihilangkan. Perubahan itu sedikit demi sedikit berlangsung dengan sering bertemu dan bermain kembali dengan teman-teman sekolahnya. Kejadian itu turut mengubah mindsetnya jika suatu saat menjadi orang tua vei akan melakukan parenting yang baik bagi anak- anaknya dan ia juga berharap untuk mendapatkan lelaki yang tidak seperti babanya.
Aku tidak membenci babaku.. Tetapi aku membenci cara dia membohongiku.., Pungkas vei.
Penulis: Fairus Sholehah