
Source: shutterstock
Menjelang negeri ini bersorak sorai merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-80, nampaknya kita justru disuguhkan berbagai persoalan yang menggelitik hati dan pikiran. Kita menyaksikan permainan-permainan yang tak jelas aturan mainnya, sementara wasitnya pun dipertanyakan integritas serta fair play-nya. Hukum mulai dimainkan secara tidak etis, sehingga menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Situasi ini muncul karena konsep bernegara yang kita akui bersama tidak dijalankan dengan semestinya.
Tulisan ini mengajak kita mundur selangkah. Dengan kondisi negara yang sudah silang sengkarut seperti ini, apa penyebab utama sebenarnya? Tentu ada jawaban spesifik di balik setiap fenomena. Misalnya, kecacatan konstitusional atau penegakan hukum yang bermasalah bisa dijelaskan melalui perspektif ilmu hukum; atau arah kerja sama internasional yang kabur bisa dijabarkan secara khusus lewat ilmu hubungan internasional, terutama ekonomi internasional. Namun, jika ditarik ke akar terdalam, semua masalah yang terjadi saat ini berpangkal pada satu hal: minimnya rasa “sadar diri” (self-awareness) dan “sadar situasi” (situation awareness).
Self-awareness adalah cara seseorang memahami siapa dirinya, apa perannya, dan kontribusi apa yang bisa ia berikan bagi dunia. Kesadaran diri ini akan mengarahkan seseorang untuk mengenali potensi dalam dirinya, sehingga ia tahu apa yang harus dilakukan berdasarkan potensi tersebut. Ia juga akan mampu mengenali identitasnya agar tidak salah langkah dalam menjalankan peran hidupnya.
Sayangnya, di Indonesia, aspek ini belum sepenuhnya “merdeka”, terutama di kalangan pemangku kebijakan, pemerintah, dan wakil rakyat. Mereka seolah tidak memahami posisinya. Dalam negara demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, dan para pejabat seharusnya berperan sebagai pelayan rakyat. Kini, posisi itu seperti telah terbalik dan menimbulkan kekacauan. Relasi antara rakyat dan pemerintah menjadi tidak proporsional. Ini menyebabkan kondisi negara semakin tidak menentu.
Contohnya, dalam kerja sama ekonomi antara Amerika Serikat dan Indonesia, data WNI menjadi salah satu poin dalam perjanjian. Contoh ini menunjukkan bagaimana hilangnya kesadaran posisi sebuah lembaga dapat berakibat serius terhadap rakyat. Lembaga yang memiliki wewenang atas data tersebut hingga kini belum memberikan penjelasan konkret. Tidak ada edukasi publik mengenai mekanisme pengelolaan data WNI oleh pihak asing. Bahkan, imbauan mengenai keamanan data pribadi pun nyaris tidak terdengar. Padahal, ini menyangkut privasi rakyat Indonesia dan merupakan tanggung jawab langsung dari lembaga tersebut. Ketidaksadaran akan posisi dan peran inilah yang menjadi salah satu awal dari kekacauan kebijakan publik yang kita hadapi hari ini.
Selanjutnya adalah situation awareness, yaitu kesadaran akan konteks dan kondisi sosial. Masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai luhur berupa kemanusiaan, kerja sama, dan keadilan. Inti dari nilai-nilai tersebut adalah kepekaan sosial dan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Dalam negara demokrasi, kepentingan bersama adalah satu-satunya hal mutlak yang harus diperjuangkan. Tidak boleh ada ruang bagi kepentingan pribadi dalam pengelolaan negara, apalagi yang berorientasi materialistis tanpa landasan moral dan etika. Hal ini menegaskan bahwa dalam bernegara, kunci utamanya adalah memahami kebutuhan bersama, bukan sekadar memenuhi ambisi pribadi.
Contohnya, beberapa menteri atau wakil rakyat di Indonesia kerap menggagas program-program yang bukan menjadi kebutuhan mendesak rakyat. Misalnya, makan bergizi gratis di Papua, padahal kebutuhan utama di sana adalah akses pendidikan gratis. Kurangnya pemahaman akan kondisi sosial di setiap wilayah membuat kebijakan yang dilahirkan terasa tidak tepat sasaran. Kepekaan dan kesadaran situasional para pejabat kita seolah kabur oleh kepentingan elitis yang justru jauh dari kebutuhan rakyat.
Para pejabat publik kerap menyampaikan niatnya saat menjabat dengan kalimat seperti, “Saya ingin membuat program X,” atau “Saya ingin menyelenggarakan acara X,” hingga “Saya ingin merancang undang-undang X.” Sayangnya, dasar dari pernyataan-pernyataan itu sering kali bukan kebutuhan rakyat, melainkan keinginan pribadi yang dibentuk oleh kelompok elit. Inilah yang menjadi bukti lunturnya kesadaran situasi di kalangan pemegang kekuasaan.
Kesadaran diri dan kesadaran situasi adalah dua kunci dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan bangsa ini. Meskipun terdengar sederhana dan sering kali dianggap remeh karena banyak yang merasa sudah melakukannya, nyatanya realitas menunjukkan bahwa ketidaktepatan dalam memahami posisi dan situasi masih sangat jelas terlihat di berbagai lini.
Tidak ada negara yang sempurna. Setiap negara pasti memiliki dinamika dan tantangan tersendiri. Namun, dengan mengasah dua kesadaran ini, kita setidaknya sedang memperkuat pondasi dalam bertindak dan berpikir. Sebelum masalah melebar dan efek dominonya semakin kompleks, mari kita awali semuanya dengan pola pikir yang bijak dan seimbang.
Sebagai mahasiswa, mari kita sadari posisi kita sepenuhnya. Gunakan potensi yang dimiliki untuk berbuat sebisa mungkin bagi bangsa. Posisi kita bukan sekadar sebagai penonton, melainkan penggerak dan pembeda. Kekritisan adalah senjata utama mahasiswa. Tetaplah sadar akan posisi dan situasi demi membangun Indonesia yang lebih baik.
Penulis: Jembar tahta anillah