
Sudah dua kali Thailand dan Kamboja menandatangani gencatan senjata dalam kurun dua minggu terakhir. Pertama pada 28 Juli, lalu diperpanjang lagi pada 7 Agustus di Kuala Lumpur. Tanda tangan dibubuhkan, kamera merekam, senyum diplomatik dipamerkan. Tapi bagi rakyat di garis depan, semua itu hanya ritual yang terasa jauh dari kenyataan. Gencatan pertama bahkan dilanggar hanya beberapa hari setelah diumumkan Kamboja kembali menembak, Thailand membalas, dan puluhan nyawa kembali hilang. Kini, perpanjangan gencatan senjata datang dengan janji yang sama: Perjanjian ini tidak boleh dilanggar dalam keadaan apa pun. Janji yang indah di telinga, tapi kosong tanpa mekanisme untuk menghukum pelanggar.
ASEAN mencoba mengambil peran melalui mediasi Malaysia, dengan dukungan Amerika Serikat dan Tiongkok. Ironisnya, pihak luar justru tampak lebih berani mendorong langkah konkret dibanding organisasi yang seharusnya menjadi rumah bersama bagi kedua negara. Kehadiran Donald Trump sebagai mediator bahkan menjadi bahan sindiran: bagaimana mungkin ASEAN membiarkan figur kontroversial dunia mengambil panggung yang seharusnya miliknya? Bukankah ini mencoreng kredibilitas regional?
Konflik ini bukan persoalan baru. Akar masalahnya membentang lebih dari seabad, berawal dari peta warisan kolonial Prancis pada 1907 yang memicu sengketa kuil-kuil suci di perbatasan. Perselisihan ini berulang kali meledak menjadi bentrokan mematikan, dan Juli lalu menjadi yang terparah dalam satu dekade setidaknya 43 orang tewas dan lebih dari 300.000 warga mengungsi. Sekolah tutup, perdagangan lumpuh, dan layanan dasar terganggu. Sementara itu, di dunia maya, media sosial kedua negara dipenuhi ujaran kebencian yang mengancam solidaritas rakyat ASEAN itu sendiri.
Prinsip “non-intervensi” yang terus dijadikan tameng oleh ASEAN kini menjadi bumerang. Dengan dalih menghormati kedaulatan, organisasi ini justru membiarkan pelanggaran terus terjadi tanpa konsekuensi. Tim pengamat memang dikirim, tapi tanpa sanksi, ultimatum, atau tekanan politik, mereka hanya menjadi penonton yang mencatat tragedi. Gencatan senjata tanpa pengawasan yang kuat hanyalah undangan terbuka untuk mengulang pelanggaran.
Masalahnya, setiap kali peluru ditembakkan di perbatasan, yang terkena bukan hanya tentara, tapi juga warga sipil tak bersenjata. Anak-anak yang terpaksa tidur di tenda pengungsian, petani yang meninggalkan ladang, pedagang yang kehilangan mata pencaharian mereka semua menjadi korban dari politik yang mandek. Sementara itu, para pemimpin duduk nyaman di ruang rapat berpendingin udara, sibuk menyusun kata-kata yang aman bagi semua pihak, tapi tak berdaya menghentikan darah yang mengalir.
Jika ASEAN benar-benar ingin disebut sebagai pilar perdamaian, ia harus berani keluar dari zona aman. Pelanggaran gencatan senjata harus disikapi dengan tegas, bahkan jika itu berarti mengubah prinsip yang selama ini dijunjung. Karena perdamaian bukan sekadar kesepakatan di atas kertas, tapi komitmen yang ditegakkan dengan keberanian — keberanian untuk menindak pelanggar, melindungi rakyat, dan menjaga martabat organisasi.
Pertanyaan terakhirnya sederhana tapi memalukan: sampai kapan ASEAN hanya akan menjadi penonton? Jika jawabannya adalah “sampai konflik mereda dengan sendirinya”, maka organisasi ini telah gagal. Gagal melindungi rakyatnya, gagal menegakkan keadilan, dan gagal membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar klub rapat dengan slogan persatuan. Dan di setiap kegagalan itu, harga yang dibayar bukan reputasi pejabat, tapi nyawa manusia.
Penulis: Novi Putri Anggraini