Akhir-akhir ini topik yang sebelumnya padam, muncul kembali di perbincangan khalayak. Mengenai mereka yang lahir pada tahun 1995-2010, biasa disebut Generasi Z atau Zoomer. Permasalahan ini berawal dari stereotip bahwa Gen Z hidupnya hanya menongkrong, boros, tech savvy, dan manja. Padahal stereotip tersebut ialah privilege sebagian kecil Zoomer yang diangkat ke publik atau media sosial.
Sebagian masyarakat tidak memandang dari sudut lain. Menjadi Generasi Z sendiri, justru menghadapi banyak tantangan. Berbicara fakta, tidak sedikit penelitian mengenai underprivileged Gen Z. Beberapa diantaranya ialah hasil survei sebanyak 36% Gen Z di Indonesia tidak memiliki rumah. Hal tersebut menyatakan bahwa masih banyak Zoomer yang terkendala dalam aspek finansial (Jakpat, “Property Perspective from Gen Z”, 2023). Selain itu dari segi pendapatan Gen Z di Indonesia sangatlah rendah. Rata-rata sebesar Rp1,7 juta perbulan, sedangkan pendapatan keseluruhan masyarakat Indonesia nominalnya Rp4,6 juta perbulan (IMGR, 2023). Teknologi juga sangat melekat jika kita membahas mengenai Gen Z. Para Gen Z sering diklaim sebagai tech savvy. Namun, faktanya penggunaan teknologi belum sepenuhnya merata pada Gen Z. Hasil survei sebanyak 96% Gen Z di Indonesia sudah menikmati perkembangan teknologi. Namun survei tersebut juga menunjukkan 4% sisanya belum menikmati perkembangan teknologi (Jakpat, “Gen Z dan Teknologi”, 2023). Fakta-fakta tersebut saling berkesinambungan dengan kesenjangan sosial. Nyatanya hedonisme sebagian kecil Gen Z di media sosial tidak sepenuhnya terjadi pada Gen Z dengan keadaan unprivileged.
Penulis beranggapan, bahwa harusnya stereotip tersebut tidak dipukul rata dan tertuju pada satu generasi. Setiap generasi berbeda tingkat kecemasan, kebutuhan, maupun tantangannya. Memahami dan setidaknya mencari tau, akan lebih baik dibandingkan melabeli generasi tersebut secara sepihak. Meskipun para Zoomer biasanya tipe yang sering mengeluh, namun hal tersebut tidak mengurangi kreatifitas, keinginan terus belajar, dan rasa senang berekspresi mereka. Melek teknologi juga harusnya menjadi poin plus bagi para Zoomer, bahwa mengikuti perkembangan zaman tidak selamanya merugikan. Hanya bagaimana caranya pemerataan teknologi tersebut dapat dilakukan tanpa merugikan generasi itu sendiri?
Penulis : Ramadhani